“Pulang Demi Adat”: Bupati Tolak Undangan Jakarta, Pilih Hadiri Pengukuhan Dewan Adat Fakfak

Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Suasana Graha Le Coq d’Armanvile (Aula Santo Yosep) sejak beberapa hari ini. Para tokoh adat berbusana khas, para raja dari tujuh petuanan menempati kursi barisan depan, sementara para ketua paguyuban dan Kepala Suku tampak sibuk berjabat tangan.

Tidak banyak yang tahu bahwa, Bupati Fakfak Samaun Dahlan baru saja terbang dari Manokwari setelah menghadiri pertemuan bersama Wakil Presiden.

Ia bahkan seharusnya berada di Jakarta menerima penghargaan tentang toleransi beragama dari Kompas TV. Namun ia memilih pulang.

“Acara ini terlalu penting untuk saya lewatkan,” katanya di atas panggung, disambut tepuk tangan panjang.

Bupati menjelaskan bahwa pemerintah pusat kembali menempatkan Fakfak sebagai salah satu contoh daerah dengan tingkat toleransi yang sehat. Sebelumnya, CNN Indonesia memberi apresiasi untuk layanan kesehatan Fakfak.

“Semua ini hasil kerja kita bersama,” ujarnya. Namun kalimat berikutnya menjadi pusat perhatian: “Tetapi saya memilih pulang ke Fakfak hari ini karena pengukuhan dewan adat tidak boleh saya wakilkan.”

Forum terdiam sejenak sebelum berubah menjadi riuh. Pernyataan itu, bagi sebagian hadirin, bukan sekadar alasan kehadiran. Itu seperti pengakuan bahwa pemerintah daerah menempatkan adat di posisi strategis, bukan sekadar ornamen seremonial.

Samaun lalu menyoroti pentingnya kolaborasi pemerintah dan adat. Ia menyebut hari pengukuhan itu sebagai “lembaran baru” hubungan keduanya.

“Negeri yang kuat dibangun oleh pemerintah yang tertib dan adat yang tegak,” katanya.

Sembari berdiri, ia memohon maaf atas ketidakhadirannya di pembukaan konferensi sehari sebelumnya.

Namun nada suaranya berubah lebih tegas ketika memasuki inti sambutan: komitmen membangun Fakfak dengan arah baru yang lebih mandiri, lebih terencana, dan lebih berani mengelola masa depan sendiri.

Di banyak daerah lain, sambutan kepala daerah sering berakhir seperti formalitas.

Tidak demikian sore itu. Kalimat demi kalimat yang ia lontarkan terasa seperti peta jalan yang perlahan dibuka di hadapan para raja dan tetua adat.

Komentar