Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Pagi itu, embun masih enggan meninggalkan dedaunan ketika puluhan tenaga honorer berbondong-bondong menuju Gedung DPRD Fakfak. Langit yang biru bersaksi atas langkah kaki mereka—langkah yang sarat dengan harapan dan kepedihan.
Bukan sekali dua kali mereka menyuarakan kegelisahan, tetapi kali ini, mereka datang dengan tekad yang lebih besar.
Di tangan mereka, spanduk terbentang seperti bendera perjuangan. Tulisan yang tertera di atasnya bukan sekadar kata-kata, tetapi suara hati yang selama ini terpendam: “SEGERA!!! TERBITKAN PP PENGANGKATAN NON-ASN FORMASI 2021 DI KABUPATEN FAKFAK”.
Hari ini, mereka tak lagi meminta. Mereka menuntut.
Bukan Sekadar Bekerja, Tetapi Mengabdi
Imanuel Morha Ginuni berdiri di tengah kerumunan, tangannya erat menggenggam pengeras suara. Suaranya melayang di udara, menusuk dinding-dinding gedung DPRD, berharap bisa menembus hati para pemangku kebijakan.
“Kami ini bukan pencaker! Kami bukan pendatang baru yang ingin sekadar mencari pekerjaan. Kami sudah bertahun-tahun mengabdi, menanam benih keringat di tanah Fakfak, memberi cahaya bagi generasi, menghidupkan roda pelayanan publik. Jika ini bukan pengabdian, lalu apa?”
Matanya menyapu wajah-wajah yang berdiri di sekelilingnya. Ada seorang guru honorer yang telah mengajar di pelosok tanpa pernah bertanya kapan statusnya akan berubah.
Ada pegawai tata usaha yang telah menghabiskan separuh hidupnya di balik meja, memastikan administrasi berjalan rapi, meski gajinya tak sebanding dengan jerih payahnya.
Di antara mereka, ada yang sudah berusia senja, namun masih berdiri tegap. Mereka tidak meminta belas kasihan. Mereka hanya ingin keadilan.
DPRD dan Janji yang Harus Ditepati
Setelah sekian lama meneriakkan aspirasi, pintu gedung itu akhirnya terbuka. Sejumlah perwakilan dipersilakan masuk. Suasana di ruang audiensi terasa berat, seolah-olah udara pun ikut menahan napas, menanti jawaban.
Ronald Markus S. Rumbiak, Koordinator Aksi, berbicara dengan nada penuh keteguhan.
“Kami sudah terlalu lama menunggu. Kami sudah terlalu banyak mendengar alasan. Yang kami butuhkan sekarang hanya satu: kepastian.”
Ketua DPRD Fakfak, Amir Rumbouw, menatap para honorer yang duduk di hadapannya. Ia menarik napas sebelum akhirnya berbicara.
“Kami memahami perjuangan kalian. Kami memang belum menerima informasi resmi dari pemerintah daerah terkait regulasi ini. Tapi kami berjanji, kami akan membawa suara kalian ke Jakarta. Kami tidak akan tinggal diam.”
Di sudut ruangan, Wakil Ketua DPRD, Domianus Tuturop, menambahkan bahwa DPRD akan segera bersurat ke pemerintah daerah untuk menanyakan kemungkinan penerbitan Peraturan Bupati (Perbup) sebagai solusi awal.
“Jika Perbup dapat menjadi dasar hukum, kami akan merekomendasikan agar segera diterbitkan,” katanya, memberi secercah harapan.
Namun, harapan yang telah berkali-kali muncul juga telah berkali-kali pupus. Apakah janji hari ini akan bernasib sama?
Harapan yang Menggantung di Langit Fakfak
Ketika pertemuan usai, para honorer meninggalkan gedung dengan langkah yang sama seperti saat mereka datang—berat, tetapi tak kehilangan asa.
Di luar, matahari sudah lebih tinggi, tetapi bayang-bayang ketidakpastian masih melingkupi hati mereka.
Ronald Markus S. Rumbiak menatap langit biru Fakfak, seakan mencari jawaban di sana.
“Kami tidak akan berhenti. Kami akan terus mengawal janji ini. Karena bagi kami, ini bukan sekadar status, ini adalah harga diri.”
Di ujung cerita ini, pertanyaan tetap bergema: Akankah janji yang diucapkan hari ini benar-benar ditepati, ataukah akan kembali menguap, menjadi sekadar angin lalu yang hilang bersama waktu?
Komentar