Jakarta, Kabarsulsel-Indonesia.com | Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang baru seumur jagung kembali diterpa kontroversi. Kali ini, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Yandri Santosa, menuai kritik tajam akibat pernyataannya yang dinilai merendahkan peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan insan pers.
Pernyataan Yandri sontak memicu reaksi keras dari berbagai kalangan, termasuk pakar politik dan hukum. Salah satu yang bersuara lantang adalah anggota LBH GANI, Horlas Monang, SH. Menurutnya, pernyataan sang menteri mencerminkan ketidakpahaman terhadap peran pers dan LSM dalam menjaga transparansi serta demokrasi di Indonesia.
“LSM dan jurnalis lahir dari rahim perjuangan rakyat. Keberadaan mereka dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Menihilkan peran mereka adalah bentuk pemikiran yang keliru dan bisa berujung pada pelanggaran hukum,” tegas Horlas dalam keterangannya kepada jaringan media nasional, Senin (3/2/2025).
Bukan Kasus Pertama, Kebebasan Pers Kembali Diterjang
Horlas menegaskan bahwa ini bukan kali pertama pejabat negara meremehkan peran wartawan dan aktivis. Ia menyoroti adanya pola pikir diskriminatif terhadap pers yang selama ini terus dibiarkan, bahkan didukung oleh institusi tertentu.
“Istilah seperti ‘wartawan abal-abal’ atau ‘tidak kompeten’ sering dipakai untuk melemahkan kontrol sosial terhadap pemerintahan. Padahal, justru kebebasan pers yang menjadi benteng utama melawan korupsi,” ujarnya.
Lebih jauh, Horlas mengingatkan bahwa tindakan menghalangi kerja jurnalistik bisa berujung pada konsekuensi hukum. Ia merujuk pada Pasal 18 ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang mengancam pelaku dengan pidana dua tahun penjara atau denda hingga Rp500 juta.
Desakan Evaluasi dan Reformasi Kabinet
Sebagai respons atas pernyataan Yandri, Horlas mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera mengambil tindakan tegas, termasuk mengevaluasi dan mengganti Menteri Desa PDTT.
“Jika dibiarkan, pernyataan seperti ini hanya akan merusak citra pemerintahan yang tengah membangun komitmen pemberantasan korupsi. Presiden harus menunjukkan bahwa kebebasan pers bukan sekadar jargon,” tandasnya.
Tak hanya itu, Horlas juga melontarkan kritik keras terhadap Dewan Pers, yang menurutnya justru menjadi penghambat kebebasan jurnalistik. Ia bahkan mengusulkan agar lembaga tersebut dibubarkan karena dianggap tak lagi relevan di era digital.
“Di zaman sekarang, setiap warga bisa menjadi jurnalis. Hak mereka untuk menyampaikan informasi dilindungi oleh Pasal 28F UUD 1945. Dewan Pers tak lagi memiliki peran signifikan dalam menjamin kebebasan pers,” pungkasnya.
Ujian Awal bagi Kepemimpinan Prabowo
Polemik ini menjadi ujian berat bagi Presiden Prabowo, yang baru saja memimpin Indonesia. Ia kini berada di persimpangan antara mempertahankan soliditas kabinet atau membuktikan komitmennya terhadap kebebasan pers dan demokrasi.
Akankah Prabowo bertindak tegas terhadap menterinya yang bermasalah? Ataukah ini akan menjadi sekadar polemik yang berlalu begitu saja tanpa solusi nyata?
Masyarakat kini menunggu langkah konkret dari pemerintah.
Komentar