Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Keputusan DPRD Kabupaten Fakfak untuk menggelar Sidang Paripurna Masa Sidang III Tahun 2024, yang membahas Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) APBD Tahun Anggaran 2023, menuai tanda tanya besar dan kritik keras.
Pasalnya, sidang tersebut dipaksakan tanpa adanya pembentukan Alat Kelengkapan Dewan (AKD), yang sejatinya merupakan syarat mutlak untuk menjalankan fungsi legislasi dan pengawasan secara sah.
Apa dasar hukum yang melatarbelakangi langkah ini? Mengapa sidang harus dipaksakan meski aturan jelas menyebutkan pentingnya AKD?
Pimpinan sementara DPRD Fakfak menggunakan dasar Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 100.2.1.3/3434/SJ yang memberikan mereka kewenangan sementara untuk memimpin rapat, termasuk rapat penetapan APBD.
Namun, hal ini bertentangan dengan Pasal 311, 312, dan 314 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang secara tegas menyebutkan bahwa pembahasan APBD harus melibatkan Alat Kelengkapan Dewan yang sah.
Mengapa DPRD Fakfak mengabaikan ketentuan undang-undang demi mendasarkan keputusan pada sebuah surat edaran? Apakah ini bentuk kompromi dengan eksekutif, atau ada kepentingan tersembunyi di balik pemaksaan sidang ini?
Surat Edaran Tidak Bisa Menggugurkan Undang-Undang
Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tidak memiliki kekuatan hukum untuk menggantikan atau menafsirkan aturan yang lebih tinggi, seperti yang diatur dalam Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah. Surat Edaran hanya bersifat administratif dan tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk mengabaikan prosedur yang telah ditetapkan undang-undang.
Bahkan, pelaksanaan sidang ini berpotensi melanggar asas legalitas, karena tanpa adanya Alat Kelengkapan Dewan, seluruh proses pengawasan terhadap laporan APBD tidak dapat berjalan sesuai prosedur hukum.
Apa urgensi yang membuat sidang ini harus dipaksakan tanpa AKD? Padahal, pembentukan AKD adalah salah satu komponen krusial dalam sistem pengawasan dan keseimbangan kekuasaan.
Apakah Ada Kompromi Tersembunyi?
Pemaksaan pelaksanaan sidang ini menimbulkan spekulasi adanya kompromi politik antara DPRD dan eksekutif. Apakah keputusan ini dipicu oleh tekanan dari pihak eksekutif? Jika demikian, ini menjadi preseden buruk bagi tata kelola pemerintahan di Fakfak.
Ketidakjelasan dalam dasar hukum yang digunakan menimbulkan kekhawatiran bahwa kepentingan tertentu mengalahkan kepentingan rakyat.
Padahal, tanpa pembentukan AKD, DPRD seolah-olah menjadi lembaga stempel belaka, yang hanya mengesahkan keputusan eksekutif tanpa menjalankan fungsi pengawasan yang sesungguhnya.
Jika ini dibiarkan, demokrasi lokal di Fakfak terancam lumpuh, dan pemerintahan berpotensi dikuasai oleh kepentingan kelompok tertentu, bukan oleh rakyat.
Sanksi dan Potensi Pelanggaran Hukum
Jika terbukti ada pelanggaran hukum dalam pelaksanaan sidang ini, maka seluruh keputusan yang diambil dalam sidang dapat digugat atau dibatalkan.
Pasal 351 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 memberikan ruang untuk memberikan sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar mekanisme pengawasan APBD.
Pihak yang bertanggung jawab, baik dari DPRD maupun eksekutif, bisa dikenakan sanksi administratif hingga pidana karena melanggar prosedur hukum yang berlaku.
Dengan demikian, DPRD Kabupaten Fakfak dan pihak eksekutif harus segera memberikan klarifikasi yang transparan mengenai mengapa sidang ini harus dipaksakan tanpa pembentukan AKD.
Rakyat Fakfak berhak mengetahui apakah keputusan ini murni untuk kepentingan publik atau justru untuk melindungi kepentingan segelintir elit politik.
Jangan sampai hukum hanya jadi permainan tangan elit, sementara kepentingan masyarakat luas dikorbankan.
Komentar