Ambon,Kabarsulsel-Indonesia.com. Founder Mie Sehat Cempaka, Dyah Puspita, mengungkapkan bahwa perjalanan usahanya mengalami perubahan besar sejak bergabung dalam program pembinaan Bank Indonesia (BI) sejak masa pandemi Covid-19.
Wawancara berlangsung di Warung Mie Sehat Cempaka kota Ambon, Rabu (17/12/2025).
Dyah mengisahkan, keterlibatannya dengan BI bermula dari program onboarding UMKM yang diikuti secara daring saat pandemi. Dari program tersebut, ia mulai belajar tentang digitalisasi usaha, mulai dari pemasaran hingga pengemasan produk.
“Hasilnya waktu program Bangga Buatan Indonesia, produk saya diikutkan pameran oleh Bank Indonesia. Itu pertama kali saya bergabung sebagai binaan BI,” ujar Dyah.
Ia mengaku sempat terkejut saat pertama kali didatangi Kepala Perwakilan Bank Indonesia ke rumahnya.
“Awalnya takut, saya pikir ada apa, soalnya saya tidak punya pinjaman atau urusan perbankan. Tapi ternyata hanya ngobrol dan ditawari ikut kegiatan Bangga Buatan Indonesia,” katanya.
Dalam kegiatan tersebut, Mie Sehat Cempaka dipercaya menyajikan olahan sagu khas Maluku untuk tamu undangan. Sejak saat itu, Dyah mulai aktif mengikuti berbagai pelatihan dan pameran yang difasilitasi BI, hingga resmi menjadi UMKM binaan Bank Indonesia.
Dyah menegaskan bahwa BI tidak memberikan bantuan dana tunai, melainkan ilmu dan fasilitas pengembangan usaha.
“Orang sering berpikir BI kasih uang. Padahal yang kita dapat itu ilmunya—pelatihan digital, pemasaran, sampai teknologi AI,” jelasnya.
Ia mencontohkan manfaat pembelajaran AI yang membantu proses desain kemasan. Jika sebelumnya harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah hanya untuk desain, kini ia mampu membuat desain sendiri secara mandiri dan efisien.
Tak hanya itu, Dyah juga mengikuti program IQRA Bank Indonesia Syariah dan berhasil lolos hingga tingkat nasional. Dalam program tersebut, ia mendapat tantangan untuk mengembangkan produk berbasis lokal.
“Dari situ saya bikin cookies berbahan sagu, genjer, dan kelapa. Saya diminta menceritakan Maluku lewat satu produk,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, bahan baku produk diambil dari berbagai daerah di Maluku sagu dari Seram, gula dari Saparua, dan kenari dari Banda yang melambangkan persatuan pulau-pulau di Maluku.
Sejak menjadi binaan BI pada tahun 2021, Dyah juga mendapat kesempatan mengikuti business matching, expo nasional, hingga pameran luar daerah seperti di Lampung. Seluruh fasilitas seperti tiket perjalanan dan penginapan ditanggung oleh BI.
“Ini sangat membantu UMKM kecil seperti kami untuk membuka pasar yang lebih luas, bahkan bertemu buyer dari Brunei dan Singapura,” katanya.
Meski demikian, Dyah mengakui tantangan terbesar saat ini adalah modal pengembangan usaha, terutama untuk memperluas pasar.
“Kami sudah punya pasar, tapi modal terbatas. Bukan tidak mau ambil kredit, tapi bebannya berat,” ujarnya.
Ia berharap ke depan BI dapat menerapkan pengelompokan kebutuhan UMKM, agar dukungan yang diberikan lebih tepat sasaran.
“Setiap UMKM kebutuhannya beda. Ada yang butuh pasar, ada yang butuh kemasan, ada yang butuh produksi. Jangan dipukul rata,” tutup Dyah.
(M.N)









Komentar