Maluku Tenggara, Kabarsulsel-Indonesia.com | “Hutan bukan warisan nenek moyang kita, melainkan titipan anak cucu kita.” Kalimat ini bukan sekadar slogan, tetapi menjadi seruan moral yang kembali menggema di tengah masyarakat Pulau Kei Besar (Nuhu Yut) setelah deretan bencana alam berupa banjir bandang dan tanah longsor melanda sejumlah kampung di wilayah itu.
Fenomena bencana yang dianggap sebagian warga sebagai “siklus tahunan” mulai menuai tafsir beragam. Namun, tak sedikit pula yang menyuarakan keresahan bahwa bencana ini merupakan akibat dari kerusakan hutan yang kian masif, terutama pasca-beroperasinya aktivitas pertambangan batu kapur oleh PT Batulicin Beton Asphat (BBA) di kawasan Nerong, Pulau Kei Besar.
Perusahaan tambang yang merupakan anak usaha dari Jhonlin Group milik Haji Isman alias Andi Syamsuddin Arsyad itu, tercatat mulai beroperasi sejak September 2024. Dengan luas konsesi mencapai 500 km², tambang ini menjadi pemasok bahan baku untuk Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke, Papua Selatan. Namun, keberadaannya justru memicu gelombang protes, tidak hanya di Maluku Tenggara, tetapi juga menyulut aksi solidaritas di Ambon dan Jakarta.
Dugaan Pelanggaran dan Ketidakpatuhan Regulasi
Keberadaan tambang PT BBA dinilai problematik oleh masyarakat dan aktivis lingkungan. Terdapat sejumlah dugaan pelanggaran yang kini menjadi sorotan, di antaranya:
- Lokasi tambang tidak sesuai RTRW : Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 2 Tahun 2024, kawasan Nerong ditetapkan sebagai zona perkebunan, bukan tambang.
- Diduga melanggar UU No. 27 Tahun 2007: Kawasan tambang berada di wilayah pesisir dan pulau kecil yang memiliki perlindungan hukum khusus.
- Belum kantongi AMDAL : PT BBA diduga belum memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagaimana diatur dalam PP No. 22 Tahun 2021, yang menjadi syarat utama dalam kegiatan pertambangan.
Namun hingga kini, belum ada pernyataan resmi dari pihak perusahaan, pemerintah daerah, maupun otoritas lingkungan hidup terkait keabsahan dan tanggung jawab PT BBA atas dugaan pelanggaran tersebut.
Masyarakat Adat Tak Boleh Tertinggal
Dalam situasi ini, Pemerintah Daerah dan seluruh pemangku kepentingan didesak untuk lebih transparan dan inklusif dalam mensosialisasikan manfaat maupun risiko dari kehadiran tambang.
Isu strategis seperti kontribusi terhadap pendapatan daerah, penciptaan lapangan kerja, dan kompensasi untuk masyarakat adat harus dijelaskan secara terbuka agar tidak menimbulkan spekulasi liar di tengah masyarakat.
“Jangan biarkan keresahan masyarakat menjadi bara dalam sekam. Pemerintah harus jujur, terbuka, dan menjamin bahwa pembangunan tidak mengorbankan lingkungan dan hak masyarakat adat,” tegas Ir. Petrus Beruatwarin, tokoh masyarakat Kei yang selama ini konsisten menyuarakan keadilan ekologis.
Apresiasi untuk DPRD Maluku dan Harapan Solusi
Beruatwarin juga memberikan apresiasi tinggi kepada DPRD Provinsi Maluku yang telah menindaklanjuti aspirasi warga dengan meninjau langsung lokasi tambang di Nerong. Langkah itu diharapkan menjadi jembatan komunikasi yang menjawab kebuntuan antara masyarakat dan perusahaan.
Menurutnya, Pulau Kei Besar adalah pulau kecil terluar yang berbatasan langsung dengan negara lain, sehingga harus dijaga dari degradasi ekosistem, perubahan iklim ekstrem, dan ancaman terhadap keanekaragaman hayati.
Ia juga mengingatkan agar jangan sampai masyarakat adat menjadi korban ketimpangan pembangunan yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
“Pulau Kei Besar adalah Bumi Larvul Ngabal, tanah adat yang harus dijaga dan dilestarikan untuk generasi mendatang,” ujarnya menutup pernyataan.









Komentar