Wakil Bupati Malra Buka Kajian Risiko Bencana: “Resilient Islands for Resilient People”

Langgur, Kabarsulsel-Indonesia.com | Pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara menegaskan komitmennya membangun budaya sadar bencana. Hal ini tercermin dalam pembukaan resmi kegiatan Kajian Risiko Bencana Kabupaten Maluku Tenggara yang dihelat pada Senin, 14 Juli 2025, di Langgur.

Wakil Bupati Carlos Viali Rahantoknam hadir membuka kegiatan ini secara langsung, seraya menekankan pentingnya sinergi lintas sektor demi keselamatan bersama.

Dalam sambutannya, Rahantoknam mengingatkan kembali peristiwa angin puting beliung yang menerjang Ohoi Debut beberapa waktu lalu. Angin kencang itu memorak-porandakan rumah warga, merusak fasilitas umum, dan menyisakan trauma mendalam bagi banyak keluarga.

“Bencana itu tidak hanya merusak bangunan fisik, tetapi juga meninggalkan luka psikologis yang mendalam,” ujar Rahantoknam, lirih namun tegas.

Ia juga menyinggung hujan lebat yang mengguyur Kei Besar tak lama kemudian, memicu banjir dan tanah longsor di sejumlah ohoi. Air bah menutup jalan-jalan, merendam kebun petani, bahkan memutus akses ke layanan dasar.

“Saya turun langsung meninjau lokasi. Saya saksikan bagaimana masyarakat bahu-membahu menolong sesama—semangat Ain Ni Ain yang harus terus kita jaga,” kenangnya.

Rahantoknam menegaskan bahwa peristiwa-peristiwa tersebut menjadi pengingat keras akan sifat multihazard wilayah Maluku Tenggara. Bencana di sini tidak tunggal: puting beliung, banjir, longsor, abrasi pantai, hingga potensi gempa bumi dan tsunami saling mengintai.

Karena itu, menurutnya, kajian risiko bencana tidak boleh berhenti pada identifikasi bahaya semata. Ia menekankan pentingnya menggali aspek kerentanan sosial-ekonomi, kapasitas kelembagaan, serta kekuatan kearifan lokal.

“Kajian ini harus sampai ke jantung persoalan. Tidak cukup hanya tahu di mana bahayanya, tapi juga seberapa rapuh kita, seberapa siap kita, dan bagaimana kearifan lokal bisa menjadi modal mitigasi,” ujarnya.

Rahantoknam mendorong BPBD memanfaatkan teknologi pemetaan terbaru, data satelit cuaca, dan pendekatan Community-Based Disaster Risk Management (CBDRM). Harapannya, rekomendasi yang lahir bersifat terukur, kontekstual, dan aplikatif hingga ke tingkat ohoi.

“Ingat, dokumen kajian ini bukan hanya syarat administrasi untuk memperoleh dana. Ini pedoman kerja nyata, yang harus hidup dan dikaji ulang secara berkala,” tandasnya.

Ia juga mengimbau para camat, kepala ohoi, dan relawan untuk aktif terlibat dalam proses penyusunan kajian risiko. Baginya, kejujuran dan keterbukaan dalam menyampaikan data lapangan adalah kunci agar strategi mitigasi menjadi tepat sasaran.

“Semakin akurat data yang kita miliki, semakin baik penataan ruang, sistem peringatan dini, hingga rute evakuasi yang inklusif bagi lansia, anak-anak, dan penyandang disabilitas,” tegas Rahantoknam.

Tak hanya pemerintah dan masyarakat lokal, ia juga menyoroti pentingnya peran dunia usaha, lembaga pendidikan, dan organisasi keagamaan.

Menurutnya, kontribusi CSR yang berorientasi pada pengurangan risiko bencana, riset kampus yang membela keselamatan publik, dan mimbar-mimbar rohani yang mengajak umat menjaga lingkungan adalah bagian penting dari ekosistem penanggulangan bencana.

“Sinergi lintas sektor inilah yang akan membuat Maluku Tenggara menjadi kepulauan yang tangguh menghadapi bencana: Resilient Islands for Resilient People,” pungkas Rahantoknam, menutup sambutannya.

Ia mengajak seluruh peserta menjadikan kegiatan ini sebagai tonggak untuk menumbuhkan budaya sadar bencana di setiap hati, demi keselamatan generasi hari ini dan esok.

Komentar