Tudingan Ijazah Palsu Jokowi: Ketika Intelektual Menelanjangi Diri Sendiri

OPINI235 views

Oleh: Bruri Tumiwa

(Waketum DPP Setya Kita Pancasila)

Kabarsulsel-Indonesia.com | OPINI – Ada saat di mana kritik adalah bentuk cinta tanah air. Tapi ada pula saat di mana kritik berubah menjadi fitnah keji yang menusuk kehormatan bangsa.

Itulah yang kita saksikan dalam sandiwara murahan yang dipentaskan oleh Dr. Tifa, Roy Suryo, Rismon Sianipar, dan kroni-kroninya. Mereka menuduh mantan Presiden Joko Widodo—pemimpin sah Republik Indonesia—memalsukan ijazahnya. Tanpa bukti, tanpa logika, dan tanpa malu.

Mari kita tanya secara jujur: apa sebenarnya motif mereka? Jika itu disebut sebagai “penelitian,” lalu di mana kerangka ilmiahnya? Mana datanya? Mana jurnal ilmiahnya? Tidak ada. Yang ada hanya tudingan kosong, kebisingan media sosial, dan drama di depan kamera. Bukankah ini bentuk kebodohan intelektual yang dipertontonkan dengan penuh percaya diri?

Lebih memalukan lagi, setelah Bareskrim menyatakan ijazah Presiden Jokowi asli, dan UGM menegaskan keabsahan dokumennya, para penuduh ini tidak meminta maaf. Tidak ada koreksi.

Tidak ada rasa bersalah. Justru mereka bersilat lidah dan menyebut bahwa tuduhan itu adalah bagian dari “penelitian”. Penelitian macam apa yang berangkat dari kebencian dan ketidaktahuan, lalu berakhir dengan pengelakan?

Ini bukan sekadar pelanggaran etika akademik. Ini penghinaan terhadap dunia ilmiah. Mereka mempermalukan para dosen, guru besar, dan mahasiswa yang setiap hari bekerja keras menjaga integritas keilmuan. Mereka menginjak-injak akal sehat hanya demi satu hal: sensasi.

Dr. Tifa, Roy Suryo, dan rekan-rekan harus sadar bahwa mereka telah mempermalukan diri sendiri. Mereka bukan pahlawan transparansi, mereka hanyalah aktor gagal yang sedang mencari panggung. Dan rakyat Indonesia tidak bodoh.

Tuduhan palsu terhadap presiden yang telah sah memimpin dua periode bukan sekadar kebohongan, tapi pengkhianatan terhadap logika, etika, dan martabat bangsa. Mereka harus mengakui bahwa mereka salah. Bukan karena ditekan. Tapi karena malu. Malu telah memfitnah tanpa bukti. Malu telah menyalahgunakan nama “akademisi” hanya untuk menebar keraguan dan kegaduhan.

Sudah saatnya publik bersuara: kita tak butuh intelektual palsu. Kita butuh peneliti yang jujur, bukan perekayasa opini. Jika mereka masih memiliki secuil harga diri, mereka harus minta maaf kepada rakyat. Bukan esok. Tapi sekarang.

Komentar