Transfer ke Daerah 2026 Menyusut, Sentralisasi Fiskal Menguat

Daerah, Jakarta, NEWS544 views

Jakarta, Kabarsulsel-Indonesia.com | Pemerintah menyiapkan kebijakan baru Transfer ke Daerah (TKD) dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Angkanya mengejutkan: Rp649,9 triliun, jauh menurun dibanding outlook 2025 yang mencapai Rp864 triliun.

Dokumen ini tersaji dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2026. Di atas kertas, penurunan anggaran disebut sebagai langkah efisiensi dan upaya mengefektifkan belanja daerah. Namun, di balik tabel dan grafik, terselip pertanyaan krusial: apakah pengurangan dana ini selaras dengan ambisi besar pemerintah memperluas program prioritas yang nilainya justru menembus Rp1.300 triliun?

Dana yang Naik, Lalu Anjlok

Lima tahun terakhir, TKD menunjukkan pola fluktuatif. Dari Rp785,7 triliun pada 2021, naik stabil hingga Rp864 triliun pada 2025. Lalu 2026, grafiknya anjlok curam ke Rp649,9 triliun.

Tren ini bukan sekadar angka. Ia mencerminkan dua hal: beban fiskal pusat yang makin berat, dan tuntutan efisiensi belanja daerah yang selama ini dianggap boros. Presiden sampai harus mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 untuk memangkas potensi kebocoran dan menekan dana mengendap di rekening kas daerah.

Jargon Efisiensi, Risiko Ketimpangan

Sejak 2023, TKD resmi berbasis kinerja, sesuai Undang-Undang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD). Artinya, daerah yang belanjanya efektif mendapat porsi lebih besar. Sebaliknya, daerah dengan serapan rendah bisa kehilangan jatah.

Secara teori, mekanisme ini mendorong persaingan sehat antar daerah. Namun dalam praktik, bisa memperlebar jurang ketimpangan. Daerah kaya sumber daya, dengan birokrasi lebih terlatih, berpeluang mendapat porsi lebih besar. Sementara daerah tertinggal justru makin kesulitan mengejar.

“Desentralisasi fiskal harus dilihat bukan hanya soal angka transfer, tapi kapasitas institusi daerah. Kalau kapasitas tak merata, TKD berbasis kinerja bisa jadi bumerang,” ujar seorang pengamat fiskal dari Universitas Indonesia.

Agenda Raksasa, Anggaran Menyusut

Kontradiksi paling mencolok terlihat ketika TKD dipasangkan dengan program prioritas pemerintah 2026. Daftarnya panjang: Makan Bergizi Gratis, revitalisasi sekolah dan madrasah, BOS, KIP Kuliah, PBI Jaminan Kesehatan, subsidi energi, hingga pembangunan lumbung pangan. Totalnya: Rp1.300 triliun.

Pertanyaannya: dengan TKD yang justru menyusut, dari mana daerah membiayai beban tambahan ini? Apakah pemerintah pusat akan menanggung semua, ataukah daerah dipaksa mencari sumber lain melalui local taxing power?

Kebijakan ini rawan menekan daerah yang fiskalnya lemah. Sementara itu, belanja wajib tetap tinggi: gaji dan tunjangan ASN daerah, operasional kantor, dan pelayanan publik. TKD yang menyusut bisa membuat ruang fiskal daerah makin sempit.

Efisiensi atau Sentralisasi Baru?

Pemerintah berjanji memperkuat sinergi belanja pusat dan daerah. Tapi kritik muncul: apakah ini bukan tanda sentralisasi baru dengan bungkus efisiensi?

Dana Desa, misalnya, disebut akan mendukung Koperasi Desa Merah Putih. Konsepnya mulia: mendorong pemberdayaan ekonomi berbasis desa. Namun tanpa pengawasan, ia berisiko menjadi jargon politik baru.

Lebih jauh, TKD 2026 juga diarahkan untuk mendorong pembiayaan kreatif/inovatif. Tapi dengan kapasitas fiskal daerah yang timpang, apakah realistis semua daerah bisa mencari skema pembiayaan alternatif?

Antara Angka dan Realitas

TKD 2026 mencoba meramu banyak hal: efisiensi fiskal, keseimbangan pusat-daerah, sekaligus mendukung program sosial raksasa. Tapi sejarah panjang pengelolaan TKD menunjukkan masalah klasik: rendahnya serapan, lemahnya perencanaan, hingga praktik korupsi di tingkat daerah.

Pertanyaan kunci bagi RAPBN 2026 adalah: apakah TKD yang lebih ramping benar-benar akan memaksa daerah lebih efektif? Atau justru memperdalam ketimpangan antar daerah, dengan rakyat kecil sebagai pihak paling dirugikan?

Karena, pada akhirnya, keberhasilan TKD tak akan diukur dari neraca negara, melainkan dari sekolah desa yang tak lagi bocor, puskesmas yang melayani tanpa antre panjang, dan jalan yang bisa dilalui petani mengangkut hasil panen.

Komentar