Kabarsulsel-Indonesia.com; Stabilitas politik nasional sangat penting untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara RI yang majemuk ini. Stabilitas nasional itu juga merupakan syarat utama untuk melakukan pembangunan ekonomi, menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya untuk kepentingan rakyat
Stabilitas politik itu hanya akan tercipta jika dua kekuatan politik nasional bersatu dan bekerjasama dengan erat, yakni Golongan Nasionalis dan Golongan Islam. Tidak mungkin hanya yang satu berkuasa, yang lain dipinggirkan. Sampai kapanpun, dua golongan ini tetap ada.
Kita terima saja keberadaan dua golongan itu apa adanya sambil tetap menghormati dan menghargai keragaman etnik, adat dan budaya serta agama-agama yang hidup dan berkembang di tanah air kita ini. Siapapun yang jadi pemimpin harus menyadari hal yang spesifik Indonesia ini
Indonesia bukan Eropa atau Amerika. Bukan Cina bukan pula Arab. Untuk itu lanjut dia, jangan impor mentah-mentah apa yang ada di negara-lain. Karena Indonesia ini, peta kekuatan politiknya, kemajemukan etnik, budaya dan agama serta geografi yang kompleks tidak ada di negara manapun di dunia ini.
Karena itu pemimpin masa depan Indonesia haruslah pemimpin yang faham betul kekhususan Indonesia beserta kompleksitas yang ada dalamnya. Menangani kompleksitas itu dan mengubahnya menjadi sebuah potensi untuk maju adalah seni, kemampuan memahami dan kerja keras tanpa henti.
Jangan coba-coba memaksakan suatu kehendak untuk mengubah keadaan itu, baik dengan aturan, kebijakan, apalagi gunakan kekuatan aparatur tanpa pemahaman, karena berisiko timbulnya perlawanan, konflik dan kekerasan dengan taruhan sangat mahal mengatasi dan memulihkannya.
Resep utama mengatasi kekhususan Indonesia adalah membangun kesadaran dan rasa percaya diri rakyat kita sendiri. Jangan mudah terpukau pada kemajuan bangsa lain dan kemudian merasa rendah diri dan tak percaya diri. Apa saja yang ada pada bangsa ini semua dipandang jelek.
Rasa percaya diri itu hanya bisa dibangun oleh pemimpin yang cerdas dan berwibawa yang segala omongannya itu didengarkan rakyat.
“Sabdo pandito ratu” dalam peristilahan Jawa. Omongan yang jelas, tegas, bijak dan dimengerti semua orang mulai tukang becak sampai Guru Besar.
Omongan dan perbuatan pemimpin itulah, yang didukung oleh sistem dan perncanaan yang baik serta target yang jelas yang ingin dicapai yang menjadi acuan pergerakan bangsa ini ke depan. Bagaimana kita harus mampu mendayagunakan potensi SDM, SDA dan segala peluang yang ada untuk kemajuan bangsa dan negara kita.
Untuk itu kemampuan melakukan negosiasi kerjasama bilateral & multilateral serta kecanggihan berdiplomasi menjadi sangat penting. Satu dan lain hal dilakukan dengan mengutamakan kepentingan nasional, kepentingan rakyat diatas segalanya.
Presiden tidak mungkin mengerjakan itu sendiri. Tetapi dia harus punya kewibawaan, gagasan, kemampuan dan pemahaman terhap persoalan fundamental bangsa ini. Presiden harus memilih para menteri yang mampu dan faham visi Presiden karena menteri-menteri itu pembantu Presiden.
Sangat aneh jika ada Presiden terpilih lantas panggil calon menteri lalu bertanya apa yang akan anda kerjakan jika anda saya lantik menjadi Menteri ESDM misalnya. Harusnya calon menteri itu yang balik tanya ke Presiden, program Bapak apa? Saya kan calon pembantu Bapak.
Presiden harus sudah punya konsep dan program di bidang ESDM dan panggil calon menteri. Ini program saya. Anda sanggup menjabarkannya lebih rinci dan melaksakannya dengan mengatasi segala kendala atau tidak.
Jangan biarkan menteri-menteri berkreasi sendiri-sendiri, dan Presiden fokus pada apa yang dia suka. Hal ini akan berakibat program Presiden tidak mengarah kepada tujuan utama, mengangkat harkat dan martabat bangsa menjadi lebih baik dalam jangka waktu jabatan kepresidenannya.
Pembangunan ekonomi, sosial dan politik bangsa ini hanya akan berhasil jika dilandasi dengan keadilan dan kepastian hukum sebagai pengejawantahan Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara. UUD 45 telah menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.
Negara hukum itu berarti semua tindakan dan kebijakan negara harus dilandaskan kepada hukum. Hukum yang bagaimana? Hukum yang adil dan mengandung kepastian. Hukum itu dirumuskan oleh negara ke dalam norma-nirma yang bersifat mengatur dan dapat dilaksanakan di dalam praktek.
Yaitu hukum yang dirumuskan oleh negara dan diundangkan, namanya hukum positif, yakni hukum yang berlaku di negara kita. Selain hukum positif itu ada hukum yang hidup dalam pikiran, perasaan dan kesadaran tiap orang, baik yang berasal dari ajaran agamanya, adat atau kebiasaannya.
Tugas negara adalah meramu, merumuskan dan mengangkat kesadaran hukum masyarakat itu, dengan menimbang-nimbang kemajemukan, manfaat dan kebutuhan hukum untuk merumuskannya menjadi hukum positif yang berlaku.
Pedoman utamanya adalah asas keadilan dan kepastian hukum. Hukum harus adil dengan menjaga keseimbangan dan kepentingan semua orang sehingga tidak ada yang dirugikan. Hukum harus pasti, jangan multitafsir. Hukum menjamin rasa aman masyarakat karena sudah ada ketentuan hukum yang pasti.
Oleh karena negara kita ini majemuk di satu pihak, tetapi dilain pihak juga negara kesatuan, maka hukumpun juga harus seperti itu. Dalam hukum private seperti perkawinan, kewarisan, pengangkatan anak dll kita akui kemajemukan hukum. Hukum private Islam berlaku bagi umat Islam.
Begitupun hukum agama lain serta adat istiadatnya berlaku pula buat mereka. Negara memfasilitasi keberlakuan hukum-hukum tersebut dengan menyediakan lembaga dan perangkatnya yang diperlukan seperti pengadilan dan sabagainya.
Namun di bidang hukum publik seperti hukum administrasi negara, hukum lalu lintas, hukum pidana dan tata negara, kita berlakukan satu hukum positif yang sama bagi kepentingan rakyat dan penyelenggaraan negara. Ini adalah cermin sebuah negara kesatuan.
Oleh karena perumusan norma hukum publik itu dilakukan melalui proses legislasi, yakni sebuah proses politik yang melibatkan Presiden, DPR dan adakalanya juga DPD, maka semua pihak silahkan membawa aspirasi politiknya masing-masing untuk diperdebatkan dan dirumuskan bersama.
Kalau umat Islam ingin agar sebanyak-banyaknya kaidah-kaidah hukum Islam masuk dalam norma hukum positif di bidang publik, maka wakil-wakil partai Islam harus banyak di DPR. Presidennyapun atau wakil Presidennyapun harus dari golongan Islam agar aspirasi Islam terwujud dalam kenyataan.
Hal seperti itu wajar dan sah dalam negara demokrasi. Bung Karno juga mengatakan hal yang sama dalam pidatonya di sidang PPKI Tahun 1945 sejenak setelah penghapusan 7 kata dalam Piagam Jakarta. Tetapi kompromi harus tetap ada antara golongan Islam dan golongan Kebangsaan.
Adapun mengenai hukum-hukum agama di bidang peribadatan seperti solat lima waktu, solat sunat, puasa, zakat, haji dll Pemerintah tidak boleh mencampuri aspek hukumnya, Begitu juga dengan ibadat-ibadat agama lain. Negara wajib menghormati semua aturan itu.
Tugas negara dalam hal peribadatan ini adalah memfasilitasi, membantu dan memberikan jaminan pelaksanaan ibadat-ibadat itu terlaksana dengan leluasa tanpa hambatan. Inilah negara Pancasila, bukan negara Islam dan bukan pula negara sekuler.
Di negara Islam urusan ibadat keagamaan Islam langsung ditangani negara. Masjid dan pemeliharaannya dibangun dan dibiayai oleh negara. Imam dan khatib semuanya pegawai negara. Di Saudi Arabia, Pakistan dan Malaysia semua begitu.
Sementara di Republik Sekuler Philipina, agama dan negara dipisahkan total. Gereja Katolik Philipina berada di luar struktur negara Philipina. APBN dan APBD tidak boleh digunakan untuk membantu kegiatan lembaga agama apapun di Philipina. Agama sepenuhnya urusan swasta.
Negara kita memilih jalan tengah antara Negara Islam dengan Negara Sekuler seperti contoh tadi. Negara terlibat dalam pendidikan agama untuk menjaga moral masyarakat dan memfasilitasi serta membantu pelaksanaan ibadat agama-agama yang ada di negara ini
Demikian kultwtt saya. Jika ada yang mau mengutip silahkan tanpa perlu minta izin ke saya. Salam.
Jakarta 12 Februari 2023
(Yusril Izha Mahendra)
Komentar