Skandal Penjarahan Hutan Mangrove di Pasar Omele: Pelaku dan Aparat Terancam Hukum Berat!

Tanimbar, Kabarsulsel-Indonesia.com | Sebuah kejahatan lingkungan besar terkuak di kawasan mangrove sekitar Pasar Omele, Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Dugaan kuat mengarah pada Agustinus Thiodorus, yang dengan berani membuka lahan di kawasan hutan mangrove tanpa mengantongi izin lingkungan hidup.

Bukti-bukti dan fakta hukum mengungkapkan bahwa tindakan ini tidak hanya melanggar undang-undang, tetapi juga mengancam kelestarian lingkungan hidup dan tata ruang wilayah.

Tindakan Ilegal di Kawasan Terlindungi

Hutan mangrove di Pasar Omele, yang masuk dalam kategori Hutan Produksi Konversi (HPK) dan Mangrove Primer, seharusnya dilindungi ketat berdasarkan keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Namun, keberanian Agustinus Thiodorus membuka kawasan ini menunjukkan adanya arogansi pelaku terhadap hukum dan indikasi lemahnya pengawasan aparat terkait.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009, pelaku usaha tanpa izin lingkungan terancam hukuman penjara hingga 3 tahun dan denda maksimal Rp3 miliar.

Bahkan, pelanggaran ini diperburuk dengan masuknya kawasan tersebut ke dalam Peta Indikatif Penundaan Pemberian Izin Baru (PIPPIB). Dengan kata lain, kawasan itu tak bisa disentuh untuk kepentingan apa pun, apalagi dijadikan lahan usaha pribadi.

Ancaman Hukuman Berat Mengintai

Analisis lebih lanjut dari Dinas Kehutanan mengungkap pelanggaran ini bukan sekadar pelanggaran administratif, tetapi masuk kategori kejahatan serius.

Tindakan pelaku melanggar Pasal 12 huruf b dan Pasal 19 huruf a Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, yang mengancam hukuman penjara hingga 15 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar!

Tak hanya itu, usaha ini juga melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Pasal 61 huruf b UU Nomor 26 Tahun 2007 dengan tegas menyatakan bahwa pemanfaatan ruang tanpa izin merupakan kejahatan pidana dengan ancaman penjara hingga 3 tahun dan denda hingga Rp500 juta.

Aparat Berwenang di Bawah Sorotan

Muncul pertanyaan besar: Mengapa pelanggaran mencolok ini bisa terjadi? Apakah ada pembiaran, atau lebih buruk lagi, kolusi dengan pihak-pihak tertentu?

Surat resmi yang diterbitkan Kepala Dinas Kehutanan menuntut Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Maluku Tenggara untuk segera mengumpulkan bukti kuat dan berkoordinasi dengan Polres Maluku Tenggara Barat untuk memproses kasus ini hingga ke pengadilan.

Namun, publik kini menyoroti lambannya respons pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Apakah ada yang bermain di balik layar? Jika kasus ini tidak ditangani dengan tegas, maka bukan hanya pelaku utama yang harus bertanggung jawab, tetapi juga para pejabat yang lalai menjalankan tugas pengawasan.

Reaksi Masyarakat: Menuntut Keberanian Penegak Hukum

Kasus ini telah memantik kemarahan masyarakat. Publik meminta agar seluruh pihak yang terlibat, termasuk mereka yang membiarkan kejadian ini terjadi, diberikan sanksi tegas tanpa pandang bulu. Tidak ada ruang bagi pelaku kejahatan lingkungan dan mereka yang melindunginya.

Pesan untuk Para Pelaku

Perusakan lingkungan ini tidak akan berakhir tanpa konsekuensi. Aparat hukum di Maluku Tenggara Barat sedang dihadapkan pada ujian besar: Apakah mereka mampu menindak kejahatan ini, atau akan menjadi bagian dari sistem yang melanggengkan pelanggaran?

Publik tidak akan tinggal diam. Jika kasus ini tidak diselesaikan secara transparan, gelombang protes masyarakat akan menjadi perlawanan keras terhadap siapa pun yang mencoba melindungi pelaku.

Jangan biarkan nama baik Maluku Tenggara Barat ternoda oleh perilaku segelintir oknum yang mengorbankan masa depan lingkungan dan masyarakat.

Komentar