Manokwari, Kabarsulsel-Indonesia.com | Skandal korupsi berskala besar yang mengguncang Papua Barat akhirnya memasuki babak baru. Dugaan penyelewengan dalam penyaluran Dana Fasilitas Kredit Pemilikan Rumah Sejahtera (KPRS) Tapak Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan Rakyat (FLPP) pada PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Papua Kantor Cabang Pembantu (KCP) Kumurkek tahun 2016-2017 kini selangkah lagi menuju meja hijau.
Kamis (20/3/2025), penyidik Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Tinggi Papua Barat resmi menyerahkan dua tersangka beserta barang bukti kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Kejaksaan Negeri Sorong. Kedua tersangka tersebut adalah mantan Kepala KCP Kumurkek, Haryanto Pamudi Laksana (HPL) dan Direktur Utama PT Jaya Molek Perkasa, Stefina Disma Arlinda (SDA).
Modus Operandi: Kredit Fiktif untuk Rumah yang Tak Kunjung Dibangun
Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Papua Barat, Abun Hasbullah Syambas, S.H., M.H., menjelaskan bahwa kasus ini berawal dari penyaluran KPRS FLPP oleh BPD Papua kepada debitur yang membeli rumah dari developer PT Jaya Molek Perkasa. Program ini sejatinya diperuntukkan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), tetapi dalam praktiknya, prosedur pemberian kredit diduga sarat penyimpangan.
“Pejabat kredit di bawah tekanan dan perintah Haryanto Pamudi Laksana dengan sengaja mengabaikan prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit. Mereka tidak melakukan supervisi, memalsukan hasil verifikasi, serta menyetujui kredit untuk rumah yang bahkan belum dibangun atau siap huni,” ungkap Abun Hasbullah di Kejari Sorong.
Seharusnya, sesuai dengan Peraturan Menteri PUPR dan SK Direksi Bank Papua, setiap permohonan KPRS FLPP harus melalui proses verifikasi ketat, termasuk pengecekan fisik rumah dan sarana pendukungnya. Namun, dalam kasus ini, prosedur tersebut diabaikan sehingga dana KPRS tetap dicairkan meskipun proyek perumahan belum tuntas.
Dampak Besar: 240 Unit Rumah Mangkrak, Kerugian Negara Rp 54 Miliar
PT Jaya Molek Perkasa diketahui membangun 8 kompleks perumahan di Kota Sorong dan Kabupaten Sorong dengan total 386 unit rumah. Namun, 240 unit di antaranya belum selesai dibangun atau belum layak huni. Meski demikian, tersangka HPL tetap menyetujui pencairan dana kredit, yang langsung mengalir ke rekening developer SDA.
Akibat perbuatan mereka, banyak debitur akhirnya gagal membayar cicilan, menyebabkan status kredit mereka masuk kategori macet (kolektibilitas 5). Negara pun mengalami kerugian mencapai Rp 54.496.520.851 atau lebih dari Rp 54 miliar.
Tersangka Terancam Penjara Seumur Hidup
Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat dengan:
- Pasal 2 ayat (1) UU RI No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 dengan ancaman penjara seumur hidup atau minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun serta denda Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.
- Pasal 3 UU RI No. 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, dengan ancaman penjara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun serta denda Rp 50 juta hingga Rp 1 miliar.
Kasus ini menjadi pukulan telak bagi dunia perbankan dan sektor perumahan bersubsidi di Papua Barat. Masyarakat kini menantikan proses persidangan di Pengadilan Tipikor Manokwari, yang akan menjadi panggung utama bagi pengungkapan lebih lanjut atas skandal korupsi spektakuler ini.
Komentar