Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Di balik tumpukan dokumen Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tersimpan bom waktu yang siap meledak di pangkuan Pemerintah Kabupaten Fakfak. Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I Tahun 2023 menguak angka mencengangkan: Rp91,88 miliar temuan keuangan sejak 2005 hingga 2023.
Dari jumlah itu, Rp66,23 miliar rekomendasi tindak lanjut seharusnya sudah dituntaskan. Namun baru 58,2 persen yang benar-benar rampung. Sisanya, lebih dari Rp27 miliar menggantung tanpa kepastian.
Uang rakyat yang seharusnya kembali ke kas daerah atau berbentuk aset justru hilang arah. Fakfak, seolah sedang menari di atas bara, menyimpan luka keuangan yang semakin dalam.
Luka yang Tak Pernah Sembuh
Data BPK menunjukkan pola berulang. Pada periode 2005–2009, terdapat Rp21,16 miliar temuan. Meski sebagian sudah ditindaklanjuti, Rp9,58 miliar tetap terbengkalai.
Alih-alih membaik, situasi kian parah. 2010–2014 mencatat Rp51,08 miliar temuan, namun hanya 65,3 persen yang tuntas. Sisanya, Rp12,5 miliar tak jelas rimbanya.
Laporan periode berikutnya memperlihatkan penurunan kualitas tata kelola keuangan. 2015–2019, dari Rp10,7 miliar temuan, hanya 59,2 persen yang selesai. Dan sejak 2020 hingga semester I 2023, kondisi makin memprihatinkan: hanya 27 persen rekomendasi yang ditindaklanjuti.
Artinya, semakin baru periode pemerintahan, semakin lemah pula komitmen penyelesaian. Fakfak seperti terbiasa hidup dengan borok keuangan yang dibiarkan membusuk.
Pembiaran atau Praktik Sistematis?
Fakta ini bukan sekadar soal kelalaian birokrasi. Indikasinya jauh lebih serius: ada pola pembiaran sistematis yang mengarah pada praktik korupsi terselubung.
Bagaimana tidak? Dari total Rp91,88 miliar temuan, hanya Rp21,7 miliar yang kembali ke kas negara/daerah. Sekitar Rp70 miliar lenyap, tanpa kepastian hukum.
Politik Tutup Mata
Mengapa bisa dibiarkan? Jawabannya kemungkinan besar ada di ruang-ruang rapat gelap pemerintah daerah: kompromi politik, barter kepentingan, hingga budaya “asal aman” yang menutup mata terhadap hasil audit.
Dengan dalih administrasi atau tindak lanjut parsial, temuan BPK seperti ditenggelamkan. Publik tak pernah benar-benar tahu, ke mana uang itu bermuara.

Bom Waktu di Fakfak
Laporan BPK ini menjadi bara dalam sekam. Di tengah keluhan masyarakat soal air bersih, jalan rusak, dan layanan publik yang amburadul, fakta raibnya puluhan miliar rupiah adalah peluru paling mematikan terhadap legitimasi pemerintah daerah.
Jika ini terus didiamkan, kepercayaan publik bisa runtuh. Gelombang protes massa tinggal menunggu momentum. Aparat penegak hukum pun punya alasan kuat untuk turun tangan.
Fakfak berdiri di tepi jurang. 91 miliar rupiah yang raib bukan sekadar angka, melainkan bukti betapa rapuh dan bobroknya manajemen keuangan daerah ini.









Komentar