Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Skandal dana Beasiswa Afirmasi Pendidikan Tinggi (ADiK) di Kabupaten Fakfak kian menguak tabir gelap birokrasi pendidikan.
Fakta terbaru menunjukkan adanya kejanggalan mencolok: nama oknum ASN berinisial R, yang kini diduga menguasai dana Rp420 juta, ternyata tidak pernah tercantum dalam Surat Keputusan (SK) Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) Fakfak Nomor 900/DIKPORA/FF/2024 tertanggal 6 Mei 2025.
SK tersebut memuat secara jelas susunan Tim Kerja Penerimaan dan Seleksi Berkas Calon Mahasiswa Program Beasiswa Nasional ADiK bagi putra-putri asli Papua tahun 2025.
Struktur tim itu cukup gemuk dan berlapis, melibatkan Bupati dan Wakil Bupati sebagai pengarah, Sekretaris Daerah sebagai penasehat, Kepala Disdikpora sebagai penanggung jawab, hingga koordinator, bendahara, dan staf teknis dari berbagai bidang.
Dengan mekanisme yang tertulis rapi, mustahil ada orang di luar struktur resmi yang bisa memegang kendali keuangan.
Namun realitasnya, dana Rp420 juta justru berpindah ke tangan R, yang tidak memiliki legalitas apa pun dalam SK.
Keanehan ini menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang memberi jalan? Bagaimana uang negara bisa lolos dari jalur resmi dan jatuh ke tangan yang tidak berwenang? Apakah ada instruksi dari pihak internal, atau ada “restu” dari level pejabat yang lebih tinggi?
Kejanggalan inilah yang membuat publik menaruh curiga bahwa kasus ini bukan hanya soal ulah seorang oknum, tetapi juga soal rapuhnya tata kelola birokrasi. SK yang seharusnya menjadi tameng hukum dan pedoman kerja ternyata tak berdaya mencegah bocornya dana.
Situasi ini menegaskan ada kemungkinan besar praktik “main mata” di balik meja, yang memanfaatkan celah administrasi untuk mengalirkan uang ke kantong pribadi.
Kejaksaan Negeri Fakfak kini sudah turun tangan. Sebanyak 15 saksi telah diperiksa, mulai dari pejabat Disdikpora, staf bendahara, hingga pihak terkait lainnya.
Langkah ini menjadi indikasi serius bahwa aparat penegak hukum berusaha menelusuri siapa saja yang mengetahui atau bahkan ikut memuluskan jalan dana hingga bisa sampai ke tangan R.
Bagi mahasiswa Papua penerima Beasiswa ADiK, uang Rp420 juta itu bukan sekadar nominal, tetapi simbol harapan.
Hilangnya dana tersebut berarti pupusnya peluang untuk menempuh pendidikan tinggi tanpa terbebani kesulitan biaya. Skandal ini dengan telanjang memperlihatkan bagaimana masa depan generasi muda bisa dikorbankan oleh kerakusan birokrasi.
Kasus ini telah mencoreng wibawa Disdikpora Fakfak dan pemerintah daerah. Jika aparat penegak hukum hanya berhenti pada satu orang ASN, maka publik akan menilai penegakan hukum setengah hati.
Sebaliknya, bila alur uang ini dibongkar hingga ke akar, skandal Rp420 juta bisa menjadi pintu masuk untuk membersihkan birokrasi pendidikan dari praktik kotor yang selama ini merugikan rakyat.
Kini, mata publik tertuju pada Kejaksaan Negeri Fakfak: apakah mereka mampu menguak siapa pemberi perintah, siapa penikmat utama dana, dan mengapa SK resmi justru dikhianati? Atau kasus ini akan dikubur dengan dalih “kesalahan individu”?
Satu hal yang jelas: SK resmi sudah bicara, nama R tidak ada di dalamnya. Tetapi uang ratusan juta justru berakhir di tangannya. Di titik inilah publik berhak menuntut kebenaran: ada siapa di balik “R” yang membuat SK kehilangan makna hukumnya?
Komentar