Jepara, Kabarsulsel–Indonesia.com | Berpusat di TPI Ujung Batu, Jepara, Minggu (7/4), terasa berbeda. Ribuan masyarakat memadati tepi pantai sejak pukul 06.15 WIB untuk menyaksikan sebuah tradisi budaya yang telah berlangsung lebih dari satu abad yakni larungan kepala kerbau atau lebih dikenal dengan sebutan Lomban.
Sorak-sorai masyarakat menyambut prosesi ketika kepala kerbau yang telah dipersiapkan dibawa ke atas kapal. Ditemani doa dan iringan musik tradisional, kepala kerbau kemudian dibawa ke tengah laut oleh perahu utama, diikuti ratusan kapal nelayan yang membentuk barisan megah mengarungi laut Jepara. Prosesi yang diselenggarakan nelayan dan disokong Disparbur Jepara ini selesai sekitar pukul 09.00 WIB, namun semangat masyarakat tak surut sedikit pun.
Momen puncak terjadi saat kepala kerbau dilarung ke laut lepas. Seketika, beberapa pemuda terjun ke laut, berenang sekuat tenaga untuk memperebutkan kepala kerbau tersebut. Tradisi ini diyakini membawa keberkahan bagi siapa pun yang berhasil mengambilnya. Sorak-sorai pun menggema, menyatu dengan debur ombak dan semangat kebersamaan yang begitu kental terasa.
“Luar biasa! Saya baru pertama kali lihat langsung, dan ini pengalaman yang sangat berkesan,” ujar Dini Fitria, seorang wisatawan asal Bandung.
“Tahun depan saya pasti datang lagi. Ternyata di Jepara ada budaya yang tak kalah menarik dari wisata pantainya ataupun seni ukirnya.” tambahnya antusias.
Bupati Jepara Witiarso Utomo dan Forkompinda, anggota DPR RI Jamaludin Malik dan Hindun Anisah serta anggota DPRD Jateng Andang Wahyu Triyanto, camat, kepala desa dan berbagai elemen lain hadir dalam kegiatan ini.
Bupati Jepara Witiarso Utomo mengatakan larung kepala kerbau bukan sekadar prosesi adat istiadat dan budaya, larungan kepala kerbau, namun juga wujud syukur masyarakat nelayan Jepara kepada Tuhan atas hasil laut yang telah menjadi sumber penghidupan sehari hari mereka.
Tradisi budaya ini telah tercatat sejak tahun 1868 dalam jurnal Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, serta muncul dalam surat kabar Slompret Melajoe edisi Agustus 1893. Dari masa ke masa, tradisi ini terus dilestarikan, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas budaya Kabupaten Jepara.
“Larungan ini bukan sekadar simbol, tapi juga filosofi maritim masyarakat Jepara,” jelas Mas Wiwit.
“Laut adalah sahabat. Ia bukan untuk ditakuti, tetapi dihormati dan dijaga. Inilah bentuk sedekah laut, bentuk silaturahmi, dan wujud nyata rasa syukur kami.” sambungnya.
Bupati juga menambahkan bahwa tradisi ini memiliki potensi besar dalam menarik wisatawan domestik maupun mancanegara. Ia berencana mengemas kegiatan larungan tahun depan dengan lebih meriah, melibatkan lebih banyak pelaku budaya dan pelaku pariwisata.
“Jepara, dengan lautnya yang kaya dan budayanya yang kuat, kembali membuktikan bahwa warisan leluhur bukan hanya untuk dikenang, tetapi juga untuk dirayakan bersama. Di tengah arus modernisasi, Lomban adalah pengingat bahwa identitas dan wujud rasa syukur adalah dua hal yang tak boleh hilang dari jati diri bangsa,” ujarnya.
Setelah pelarungan, acara dilanjutkan dengan Festival Kupat Lepet atau yang dikenal dengan sebutan Perang Kupat Lepet. Dua gunungan besar berisi lebih dari 4.000 kupat lepet disiapkan untuk diperebutkan oleh masyarakat. Saat aba-aba diserukan, warga langsung menyerbu gunungan tersebut dan saling berebut kupat lepet yang dipercaya membawa keberkahan dan kemakmuran.
“Bersyukur masyarakat sangat bahagia juga antusias dengan kehadiran lomban. Kita akan terus kembangkan adat istiadat dan tradisi kearifan lokal sehingga mampu menjadi daya tarik wisatawan domestik dan ini bisa menaikan income pariwisata sekaligus mengangkat nilai tambah juga promosi perekat identitas dan kebersamaan warga,” tandasnya.
Writter : Hani K/Yos
Komentar