Maluku Tenggara, Kabarsulsel-Indonesia.com | Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) di Kabupaten Maluku Tenggara dan Kota Tual kembali menjadi sorotan.
Diselenggarakan oleh Yayasan Pelangi Maluku, program ini menuai kritik tajam dari sejumlah pihak sekolah yang merasa isi Totebag yang dibagikan tidak layak, tidak bergizi, dan jauh dari nilai anggaran yang ditentukan oleh Badan Gizi Nasional (BGN) pusat.
Sesuai juknis BGN, setiap Totebag seharusnya bernilai Rp10.000 dan berisi makanan bergizi untuk menunjang kesehatan siswa.
Namun di lapangan, isian yang diterima siswa hanyalah biskuit Malkist, satu sachet Energen, dan kurma — isi yang dinilai tidak mencerminkan nilai Rp10.000 dan dianggap tidak memenuhi standar gizi yang layak bagi anak usia sekolah.
Kekecewaan makin meluas ketika pihak sekolah menyadari tidak ada susu dalam paket makanan, padahal susu adalah komponen utama dalam juknis program MBG.
Ketika hal ini dikonfirmasi, pihak yayasan melalui salah satu perwakilannya, Ibu Ika, menyampaikan bahwa susu masih dalam perjalanan dan menyebut banyak siswa alergi susu.
Namun pernyataan itu terbantahkan karena berdasarkan data alergi yang dikumpulkan sekolah, tidak ada satu pun siswa yang alergi susu. Justru banyak siswa yang alergi telur.
Anehnya, meskipun sudah diketahui banyak siswa alergi telur, telur tetap menjadi bagian dari isi Totebag dan tidak digantikan dengan alternatif lain.
Akibatnya, siswa yang alergi tidak bisa mengonsumsi paket gizi mereka dan harus memberikannya kepada teman lain. Ini berdampak langsung pada penurunan nilai gizi yang diterima siswa, bertentangan dengan tujuan utama program MBG.
Pihak sekolah telah menyampaikan berbagai masukan dan saran kepada Ahli Gizi, tim SPPG, dan Yayasan Pelangi Maluku, termasuk permintaan agar telur diganti dengan bahan pangan bergizi lainnya yang aman bagi siswa alergi.
Namun, hingga saat ini, semua masukan tersebut tidak direspons dan tidak ada langkah konkret untuk memperbaiki pelaksanaan program.
Ketidakseriusan dalam menanggapi data medis siswa, lemahnya pengawasan, dan minimnya transparansi anggaran membuat Program MBG di Maluku Tenggara tampak sekadar formalitas.
Alih-alih memberi manfaat, program ini justru dikhawatirkan menjadi beban tambahan dan bukti kegagalan kolaborasi antara penyelenggara dan sekolah.
Jika Yayasan Pelangi Maluku tidak segera melakukan evaluasi dan perbaikan menyeluruh, maka Program MBG yang seharusnya menyelamatkan generasi muda dari kekurangan gizi justru berisiko menjadi cermin buruk pengelolaan dana publik dan kesehatan anak-anak di daerah.
Writter : Elang Key | Editor : Red
Komentar