Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Setelah hampir setahun bersembunyi, pelarian Devira Damati alias Neng akhirnya berakhir. Terpidana kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang sempat masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Kejaksaan Negeri Fakfak ini dibekuk oleh tim gabungan Kejaksaan Tinggi Papua Barat dan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Utara di wilayah Minahasa, Sulawesi Utara.
Penangkapan ini menjadi penutup drama hukum panjang yang berawal dari sebuah modus perekrutan kerja melalui media sosial, berujung pada eksploitasi anak di bawah umur di Fakfak.
Awal Kisah dari Dunia Maya
Semua bermula pada 29 Januari 2023. Seorang remaja berusia 17 tahun, Deria Julianti Hasan alias Stella Abas, mencari pekerjaan melalui laman Facebook “Info Loker Manado”. Ia terpikat oleh unggahan akun “Ela” (yang kini juga buron) yang menawarkan pekerjaan di sebuah kafe.
Percakapan singkat di Messenger itu menjadi awal petaka. Dari balik layar, jaringan perekrut bekerja terorganisir. Mereka mengatur transportasi, tempat tinggal, hingga keberangkatan korban ke Fakfak, Papua Barat.
Salah satu tokoh penting dalam rantai itu adalah Devira Damati alias Neng — perempuan 30 tahun asal Makassar yang berperan sebagai penghubung antara perekrut dan pengelola kafe di Fakfak.
Menurut berkas perkara, Devira menjemput korban di Manado, menampungnya semalam di rumah orang tuanya, mencarikan tiket kapal, dan mengatur keberangkatan menuju Fakfak. Saat video call dengan perekrut utama, Lia alias Mama HJ, Devira sempat mengatakan bahwa korban masih berumur 17 tahun. Jawaban dari seberang telepon dingin saja: “Nanti kita urus pas sudah tiba di sini.”
Eksploitasi di Balik Café Satria
Tiba di Fakfak, korban dibawa ke Café Satria, tempat ia bekerja sebagai pramuria. Namun pekerjaan itu berubah menjadi mimpi buruk.
Selama tiga bulan, korban dipaksa melayani tamu, bahkan berhubungan badan, tanpa menerima bayaran sepeser pun. Semua hasil kerjanya, menurut pengelola kafe, digunakan untuk “melunasi utang transportasi” sebesar Rp5,5 juta.
Dari setiap transaksi “tender” yang dibayar tamu sebesar Rp750.000, korban hanya menerima uang tips — itupun jika tamu berbaik hati. Pengelola kafe, Lia alias Mama HJ dan Hendra, mendapat bagian Rp500.000, sementara Rp250.000 dianggap biaya sewa kamar.
Ketika korban mulai menolak, intimidasi dan ancaman denda hingga Rp20 juta menjadi senjata para pelaku. Hingga akhirnya pada malam 16 Mei 2023, korban memberanikan diri mengirim pesan ke Andi Markus Laritembun, pengurus paguyuban café di Fakfak. Dari situlah polisi turun tangan.
Rangkaian Persidangan dan Pelarian
Kasus ini kemudian bergulir di Pengadilan Negeri Fakfak. Melalui putusan Nomor 41/Pid.Sus/2023/PN Ffk tanggal 20 November 2023, Devira dinyatakan bersalah “turut serta melakukan pengiriman anak yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi.”
Ia dijatuhi hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp120 juta.
Bandingnya ke Pengadilan Tinggi Papua Barat dan kasasi ke Mahkamah Agung ditolak. Namun saat putusan berkekuatan hukum tetap, Devira menghilang.
Kejaksaan Negeri Fakfak melakukan tiga kali pemanggilan resmi, namun Devira tak pernah muncul. Hasil penelusuran menunjukkan, ia sudah meninggalkan tempat tinggalnya di Fakfak. Pada 14 Januari 2025, Kepala Kejari Fakfak menerbitkan Surat Penetapan DPO.
Akhir Pelarian
Buronan itu akhirnya terendus di kampung halamannya di Sulawesi Utara. Tim Tangkap Buron (Tabur) Kejati Papua Barat bersama Kejati Sulut bergerak cepat. Pada Agustus 2025, Devira berhasil ditangkap tanpa perlawanan dan langsung diterbangkan ke Papua Barat.
Kini, Devira Damati alias Neng menjalani masa hukumannya di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Klas III Manokwari.
Penegakan Hukum Tanpa Henti
Kepala Kejaksaan Negeri Fakfak menegaskan, keberhasilan penangkapan ini menunjukkan komitmen institusi dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
“Tidak ada ruang aman bagi pelaku yang mencoba menghindar dari hukuman. Keadilan harus dijalankan,” ujar sumber di lingkungan kejaksaan.
Kasus Devira menjadi cermin gelap perdagangan manusia di era digital — di mana lowongan pekerjaan palsu dapat menjelma jerat eksploitasi. Namun dari balik kejahatan itu, kerja keras aparat membuktikan: hukum, betapapun lambatnya, pada akhirnya menemukan jalannya sendiri.

																				







Komentar