CILANDAK, Kabarsulsel-indonesia.com – Yang ironis, kata Prof. Yudhie Haryono kita bisa mendapatkan kekuasaan tetapi tidak bisa berbuat apa-apa dengan kekuasaan yang kita miliki itu, sama ironusnya dengan ketidakmampuan menggunakan kekuasaan untuk melakukan kebijakan-kebijakan yang dapat memberi manfaat bagi orang banyak. Karena itu, buat apa kekuasaan dicari dan direbut jika tidak dapat melakukan apa-apa demi dan untuk kemaslahatan untuk orang banyak.
Demikian dialog santai bersama Prof. Yudhie Haryono, Eko Sriyanto Galgendu dan Setyo Wibowo di Citos Cilandak, Kamis petang, 3 November 2022 dalam upaya nematangkan sejumlah program Posko Negarawan sebagai bagian dari turunan GMRI (Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia) dalqm rangka membumika gerakan kebangkitan dan kesadaran setra pemahanan spuritual bagi bangsa untuk negara Indonesia.
Kekuasaan untuk mencari kekayaan atau kenikmatan sendiri mungkin bisa dipublikasikan dengan cara lain yang lebih elegan agar tidak sampai menyakiti atau mencederai perasaan orang lain. Karena hidup dalam pengertian yang hidup adalah penun pengertian atau semacam tepa selira sesama makhluk di bumi, sehingga makna kekayaan pun dapat disadari sebagai upaya untuk saling memberi terhadap orang lain, meski tak harus berujud materi, karena kekayaan itu meliputi banyak hal termasuk apa saja yang dapat disebut dengan ujus batin. Dalam versi Eko Sriyanto Galgendu, berbagi itu bisa saja melampaui dari apa yang dimiliki. Seperti pernah dia lakukan hanya dengan mempunyai uang tigapuluh juta rupiah, dia bisa menyumbang sebuah kendaraan ambulan untuk fasilitas warga desa di daerah tempat tinggalnya dengan cara melakukan akad kredit dengan sisa pembayaran yang kemudian dapat dia tanggung sendiri hingga lubas dan klien.
Begitulah bagian dari upaya untuk melahirkan karakter seorang pemimpin yang berbasis spiritual untuk mengatasi masalah rakyat banyak yang susah — yang sepatutnya harus dan wajib diatasi oleh negara — sebagaimana komitmen yang tersurat dalam konstitusi kita, bahwa fakir miskin dan orang yang terlantar harus dijamin oleh negara
Sey9gyanya, itulah tugas pokok dari sosok seorang negarawan yang sejati untuk mewujudkan janji dan komitmen dari kesepakatan membangun negara untuk memajukan kesejahteraan umum dan membebaskan seluruh tumpah darah Indonesia dari segala bentuk penindasan di bumi.
Jadi kemaluan dan cita-cita luhur bangsa Indonesia dalam keinginan untuk merdeka jelas termaktub dalam pembukaan serta sejumlah pasal dari UUD 1945 yang merinci tujuan luhur manusia Indonedia saat memerdekakan dari segenap bentuk penjajah, apalagi dari sikap ambisius dan sikap egoistik dari bangsa Indonesia sendiri.
Dalam perspektif ini hasrat berbagai pihak untuk kembali kepada UUD 1945 yang asli bisa diterima oleh akal sehat dan waras. Hanya saja, menurut Eko Sriyanto Galgendu saatnya saja yang tidak tepat bila harus dikakukan sekarang — saat menjelang Pilpres yang semakin memanas suhu politiknya untuk tahun 2024 — sebab tidak mustahil akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk mengangkangi kekuasaan secara culas dan curang atas nama demokrasi yang sudah dipelintir demi dan untuk kepentingan sendiri. Begitu juga wacana yang mulai ditiuplan agar melakukan dekrit.
Obrolan santai ikhwal kekuasaan, UUD 1945 & Dekrit Menjelang Pilpres tahun 2024 yang makin memanas, sambil minum kopi menjelang sore, sambil menikmati suasana khas kaum milineal dari pinggiran ibu kota republik yang selalu terkesan bising dan gaduh
Cilandak, 3 November 2023
Komentar