“Kuasa Hukum OW dan CM Nilai Kejari Fakfak Tebang Pilih”
Fakfak, Kabarsulsel-indonesia.com; Setelah ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi dana hibah KPU Fakfak dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Fakfak tahun anggaran 2019-2020. Tersangka OW dan CM melalui Penasihat Hukumnya Hendra Talla, S.H yang ditemui di ruang kerjanya; Jumat [13/01] menyampaikan beberapa pernyataan dari keterangan yang telah dirinya peroleh melalui OW dan CM dari balik jeruji besi. Pasalnya Penasihat Hukum OW dan CM sempat menemui kedua kliennya di Lapas Klas II b Fakfak dalam rangka menggali keterangan yang nantinya digunakan sebagai bahan pembelaan dalam persidangan.
Dihadapan awak media, Penasihat Hukum OW dan CM Hendra Talla, S.H menyampaikan bahwa dirinya telah mengantongi beberapa informasi awal yang akan dibeberkan dalam persidangan. Ucap Hendra.
Dirinya bersama kliennya merasa jika Kejaksaan Negeri Fakfak tebang pilih dalam memutuskan tersangka dugaan perkara Korupsi KPU sehingga berujung pada penetapan kedua kliennya (OW dan CM) sebagai dua tersangka dalam dugaan kasus korupsi dana hibah KPU Fakfak yang mengakibatkan kerugian keuangan Negara sebesar 12 milyar lebih. Pada hal Komisioner, Sekretaris dan Bendahara merupakan satu kesatuan dalam mempergunakan anggaran hibah 2019. Kata Hendra.
“saya merasa Kejari Fakfak tebang pilih dalam menangani perkara korupsi dana hibah Daerah Pemerintah Kabupaten Fakfak yang diperoleh KPU dalam penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah Bupati/Wakil Bupati Fakfak tahun 2019. Mengingat semua penggunaan dana hibah ini merupakan satu kesatuan baik Komisioner selaku pimpinan dan juga Plt. Sekretaris dan Bendahara.” Tutur Hendra.
Hendra juga menegaskan jika kliennya yang berinisial CM yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejari Fakfak adalah bendahara APBN tahun 2019 sementara salah satu rekan kerjanya yang berinisial MLK yang menjabat selaku bendahara APBD hibah KPU tahun 2019 namun malah tidak ditetapkan sebagai tersangka. Pada hal diketahui bahwa sumber anggaran yang digunakan dalam pelaksanaan Pilkada Fakfak tahun 2019 berasal dari APBD Fakfak. Tegasnya. Lanjutnya pula bahwa dirinya dapat membuktikan hal itu karena ada beberapa dokumen Surat Keputusan yang telah Ia (baca : Hendra) kantongi. Ucap Hendra.
Pengacara Muda berdarah Maluku ini juga merasa aneh dan mempertanyakan dari mana sumber anggaran hibah KPU sehingga berujung terjadinya dugaan tindak pidana korupsi yang menyebabkan kerugian keuangan Negara senilai 12 Milyar lebih, atas dugaan tindak pidana korupsi inilah yang berujung ditetapkannya CM sebagai tersangka dalam kasus ini.
“Kami merasa aneh dengan adanya keputusan Kejaksaan Negeri Fakfak yang menetapkan klien kami CM sebagai tersangka dalam kasus ini, tentunya yang jadi pertanyaan kami adalah dari mana sumber dana hibah KPU untuk pelaksanaan Pilkada Fakfak tahun 2019 ?, apakah dari pos anggaran APBN atau APBD? Ungkapnya, lanjutnya pula bahwa jika anggaran tersebut bersumber dari pos APBD kenapa bendahara APBD yang semestinya bertanggung jawab justru tidak ditetapkan sebagai tersangka ? tapi malah klien kami yang selaku bendahara APBN yang justru ditetapkan sebagai tersangka. Ini kan aneh tidak salah jika kami beranggapan bahwa Kejaksaan Negeri Fakfak melakukan Tebang Pilih dalam Kasus ini” Kesal Hendra.
Dirinya juga menyampaikan kepada awak media, kalau kliennya OW dan CM telah memberikan pengakuan kepadanya bahwa adanya aliran dana senilai Rp. 17 Juta yang setiap bulannya mengalir ke 5 komisioner sebagai biaya sewa kendaraan, yang diantarkan langsung oleh MLK selaku bendahara kepada komisioner. Tutur Hendra. Namun ketika dicecar pertanyaan mengenai bukti-bukti pendukung yang dapat memperkuat pernyataan OW dan CM kepada Penasihat Hukumnya, dirinya (baca : Hendra Talla, S.H) mengatakan bahwa sampai sejauh ini belum mengantongi bukti atas pernyataan tersebut. Jawab Hendra selaku pengacara OW dan CM.
pernyataan Pengacara OW dan CM ini pun langsung dikonfirmasikan oleh kabarsulsel-indonesia.com kepada 5 komisioner KPU serta MLK, namun mereka membantah tuduhan tersebut, dengan dalil bahwa mereka tidak pernah menerima uang tersebut.
“kami tidak pernah menerima uang seperti yang dituduhkan itu, karena komisioner KPU tugasnya hanya mengurus tahapan pemilu bukan mengatur masalah keuangan”. Ungkap Ketua KPU Dihuru Deckry Radjaloa saat ditemui di ruang kerjanya, sabtu [14/01]. Deckry juga menambahkan bahwa selama tahapan Pemilu Kepala Daerah masing-masing komisioner ke kantor selalu menggunakan kendaraan pribadi, sehingga tidak benar jika kami setiap bulan menerima anggaran sebesar 17 juta untuk sewa kendaraan. Tambah Deckry.
Selain itu Kepala Kejaksaan Negeri Fakfak, Nixon N Nilla Mahuse, S.H,.M.H saat hubungi via whatsapp menjelaskan bahwa pihaknya masih terus melakukan pengembangan atas kasus ini. Oleh karenanya dirinya berharap agar public dapat menunggu kerja pihak penyidik Kejari Fakfak untuk mengungkap hal ini.
Alumni S2 Universitas Indonesia ini juga menegaskan bahwa pernyataan semua pihak tentu tidak bias serta-merta langsung dipegang dan dijadikan tersangka karena pada prinsipnya pendekatan penegakan hukum yang dianut dan dipegangnya adalah “Tajam ke atas humanis ke bawah”. Tegas Orang Nomor satu di institusi adhyaksa Fakfak ini.
Ditambahkan pula oleh Kajari Fakfak bahwa dalam prinsip penegakan hukum selalu dikedepankan asas “satu saksi bukan saksi” (unus testis nullus testis). Jadi minimum pembuktian yang dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa agar dapat dijatuhkan pidana, harus dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah. Tutup Kajari Fakfak.
(Red)
Komentar