Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Suasana hangat menyelimuti Kampung Wartutin, Distrik Wartutin, Jumat, 16 Mei 2025. Secangkir kopi, seikat sirih, dan sepiring pinang menjadi pembuka prosesi panen pala bersama antara Dinas Perkebunan Kabupaten Fakfak dan kelompok binaan keluarga Hombore.
Panen kali ini bukan sekadar kegiatan biasa-biasa saja. Dimulai dengan tradisi minum kopi bersama, para peserta kemudian berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju kebun pala milik keluarga Hombore. Di bawah rindangnya pohon pala Tomandin, prosesi adat Meri Totora dilangsungkan dengan khidmat.

Abner Hombore, pemilik kebun, menyampaikan bahwa panen ini adalah buah dari kerja panjang bersama Dinas Perkebunan.
“Kami sengaja mengundang Dinas, karena mereka telah membantu kami sejak awal membuka lahan seluas satu hektare melalui program ekstensifikasi. Pendampingan itu terus berlanjut hingga tahun 2024,” ujar Abner.
Menurutnya, ia dan keluarga mengikuti seluruh anjuran teknis dari Dinas, termasuk soal jarak tanam, perawatan, hingga waktu panen.
“Kami sepakat untuk tidak memetik sebelum pala benar-benar matang. Itu pesan penting yang kami pegang,” katanya.
Plt. Kepala Dinas Perkebunan Fakfak, Widhi Asmoro Jati, ST, MT, yang turut hadir dalam prosesi, mengapresiasi kesetiaan keluarga Hombore dalam menjaga kualitas tanaman.
“Ini bukan hanya panen, ini adalah bentuk penghargaan kepada alam. Tradisi minum kopi dan makan pinang sebelum panen adalah bagian dari kearifan lokal yang menghormati pohon sebagai sumber kehidupan,” kata Widhi.
Ia menambahkan, pala di Fakfak bukan sekadar komoditas ekonomi.
“Pohon pala adalah pohon kehidupan bagi masyarakat Fakfak. Tradisi Meri Totora yang kita laksanakan hari ini memperlihatkan bagaimana masyarakat adat memuliakan pala sebagai ‘ibu’—sebuah simbol penting dalam kebudayaan lokal,” ucapnya.

Dalam tradisi masyarakat Fakfak, Meri Totora dilakukan untuk menghormati pohon pala yang dianggap sebagai entitas hidup, bukan benda mati. Ia dijaga, dirawat, dan dipanen dengan penuh penghormatan—seperti seorang ibu yang melindungi dan memberi kehidupan.
Panen pala Tomandin hari itu ditutup dengan harapan agar tradisi seperti ini tetap dijaga. Tidak hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai upaya melestarikan mutu dan keberlanjutan pala Fakfak di tengah gempuran pasar global.
“Kita ingin pala Fakfak tetap memiliki kualitas unggul, harga yang stabil, dan—yang paling penting—akar budaya yang tetap kuat,” ujar Widhi menutup.
Komentar