TANGERANG,Kabarsulsel-Indonesia.com,Sabtu pagi, 16 Agustus 2025, di Gedung Radio Heartline 100,6 FM, lantunan suara kebangsaan bergema bukan dalam bentuk mars perjuangan, melainkan melalui untaian kata, doa, dan refleksi dari para tokoh lintas agama. Persatuan Wartawan Nasrani Indonesia (Pewarna) Provinsi Banten, di bawah kepemimpinan Pdt. Dr. Philip S. Buulolo, menghadirkan Forum Grup Diskusi (FGD) bertema “Merdeka dan Bebas dari Intoleransi.”
Hadir sebagai narasumber, para tokoh dari enam agama resmi di Indonesia: Johannes Nur Wahyudi (Katolik, anggota FKUB Tangerang), Js. Herlinawati, S.T. (Konghucu), Pdt. Doni Susanto, S.Th. (Kristen), Ida Bagus A. Wiratmaja, S.H., M.H. (Hindu), Dr. H. Muhammad Qustulani, MA. Hum. (Islam), serta Bhikkhu Abhipuñño, B.A., M.A. (Buddha). Tak ketinggalan, Yusuf Mujiono, Ketua Umum DPP Pewarna, turut memberi dukungan dalam forum yang sarat makna kebangsaan ini.
*Suara yang Menyatu dalam Perbedaan*
Dr. Muhammad Qustulani menegaskan pentingnya melihat Pancasila dari perspektif seluruh agama, bukan hanya satu keyakinan semata. “Tantangan terbesar bangsa ini adalah politik identitas. Dalam Islam, kita diperintahkan untuk saling mengenal agar dapat menerjemahkan kasih dan cinta Tuhan kepada sesama manusia,” ungkapnya.
Senada dengan itu, Bhikkhu Abhipuñño menekankan akar kedamaian ada dalam pikiran dan ucapan. “Akar kebencian membawa perpecahan, sedangkan akar cinta kasih atau Metta menumbuhkan kedamaian. Dalam doa kami, selalu terucap, Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta — semoga semua makhluk hidup berbahagia,” ujarnya penuh keteduhan.
Dari perspektif Hindu, Ida Bagus Wiratmaja mengingatkan akan peran vital media. “Indonesia terdiri dari 1.340 suku. Media harus menjadi penengah dan penyaring berita yang bisa memecah belah. Jangan sampai Indonesia pecah seperti Rusia yang tak lagi bisa dipersatukan,” katanya menekankan peran jurnalisme yang bijak.
*Toleransi dari Salam hingga Kopi*
Sementara itu, Pdt. Doni Susanto menilai bahwa toleransi dapat dimulai dari hal sederhana: hafal salam antaragama. “Sebelum memulai aktivitas, kita selalu menyapa. Menghargai salam agama lain adalah awal toleransi. Intoleransi jangan hanya dihadapi negara, tetapi kita semua harus hadir merawat toleransi,” ujarnya. Doni juga membagikan pengalaman kebersamaan lintas iman dalam suasana santai. “Ketika Bante Abhipuñño mengajak ngopi, bukan kopinya yang penting, tetapi esensi pertemuan—saling mengenal dan membangun kekeluargaan.”
Johannes Nur Wahyudi, dari Katolik, menggarisbawahi bahwa toleransi berarti mengakui kebenaran dan kebaikan dari agama lain. Ia mengingatkan agar media tidak terjebak dalam prinsip “bad news is good news.” “Pewarna harus berani mewartakan kabar baik, karena Nasrani berasal dari kata Nasroh yang berarti penolong,” tuturnya.
Dari tokoh Konghucu, Herlinawati menekankan pentingnya pengendalian diri. “Banyak yang membawa masalah pribadi dengan memakai baju agama. Dalam Konghucu, tuntutan positif harus dimulai dari diri, lalu keluarga, masyarakat, hingga mendampingi dunia,” jelasnya.
*Pewarna: Menjadi Penolong dalam Pemberitaan*
Menutup diskusi, Pdt. Dr. Philip S. Buulolo menegaskan bahwa intoleransi seringkali lahir dari minimnya pemahaman antaragama serta derasnya arus hoaks. Ia menegaskan komitmen Pewarna untuk menghadirkan berita yang menyejukkan, bukan yang menebar perpecahan. “Dasar hukum iman Kristen adalah kasihilah Tuhan dan kasihilah sesamamu manusia. Pewarna hadir untuk menyuarakan kasih itu lewat karya jurnalistik,” ucapnya.
Forum ini menjadi cermin bagaimana perbedaan tidaklah untuk dipertentangkan, melainkan dirawat sebagai harmoni kebangsaan. Kata-kata para tokoh berkelindan bagai jalinan benang, menenun kain kebhinekaan Indonesia: kokoh, berwarna, dan penuh kasih.
HM
Komentar