Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Di balik aroma harum pala Tomandin yang menguar dari lereng-lereng kampung di Fakfak, tersimpan kekayaan intelektual yang kini dijaga dengan penuh kehati-hatian.
Pemerintah Kabupaten Fakfak tak ingin sekadar menikmati ketenaran rempah warisan ini—mereka hendak merawatnya, memagari mutunya, dan menegaskan jati dirinya sebagai milik sah masyarakat Fakfak.
Langkah strategis itu tercermin dalam koordinasi lanjutan yang digelar Selasa pagi, 15 April 2025, di Kantor Dinas Perkebunan Fakfak.
Suasana pertemuan hangat namun penuh muatan penting. Di Kantor Dinas Perkebunan Fakfak antara Disbun Fakfak bersama Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham.
Pala Tomandin memang bukan sekadar komoditas. Ia simbol identitas, sumber ekonomi, dan kebanggaan budaya. Sertifikat Indikasi Geografis (IG) yang kini melekat padanya, bukan hanya label, melainkan pengakuan atas keunikan rasa dan aroma yang tak bisa ditiru daerah lain.
Plt. Kepala Dinas Perkebunan Fakfak, Widhi Asmoro Jati, S.T., M.T tak menutupi tantangan yang mereka hadapi. Salah satu kekhawatiran besar adalah ancaman pencampuran produk dengan pala dari luar daerah.
“Kami cemas, pala dari Maluku dan Ambon masuk lewat pelabuhan Fakfak dan mengaburkan otentisitas kita,” ujar pria alumni Universitas Diponegoro ini.
Karena itu, Pemda menyiapkan strategi multilapis: dari labeling khusus yang hanya boleh disematkan pada produk asli Tomandin, hingga pembentukan Tim Pengawas Produk IG yang akan mengawasi kualitas dari pohon hingga kemasan.
Tak main-main, anggaran sebesar Rp 200 juta telah diajukan. Dana ini akan digunakan untuk membiayai pengawasan, edukasi kepada petani, hingga sosialisasi kepada pelaku usaha tentang pentingnya menjaga standar mutu sesuai buku deskripsi IG.
Teknologi pun mulai menyapa ladang. Teknik grafting atau sambung pucuk kini dikembangkan untuk memangkas masa berbuah dari tujuh tahun menjadi hanya 3,5 tahun. Ini bukan hanya soal efisiensi waktu, tapi peluang lahirnya varietas baru—varian khas Fakfak yang kelak bisa menjadi entitas IG tersendiri.
Dari aspek perlindungan hukum, pemerintah juga bersiap mendaftarkan merek dan logo khas pala Tomandin seperti “Monicin” agar tak direbut pihak luar.
“Kita tidak boleh lengah. Apa pun yang melekat pada pala ini harus diamankan,” tegas Djunaidi dari Kemenkumham.
Diskusi tak berhenti pada perlindungan. Para peserta juga membahas peluang memanfaatkan IG sebagai instrumen pemasaran berdaya saing tinggi. IG bukan sekadar pelindung; ia bisa menjadi lokomotif promosi yang mengangkat nilai jual pala Tomandin ke pasar global.
Menjelang akhir forum, tersirat kesadaran baru—bahwa menjaga IG bukan tugas segelintir birokrat, melainkan panggilan kolektif. Petani, pedagang, hingga pemerintah harus berjalan dalam irama yang sama: menjaga mutu, merawat warisan, dan menatap masa depan dengan penuh harga diri.
“Sudah saatnya kita bertindak sebagai pemilik sah dari rempah yang dunia cintai ini,” tutup Widhi.
Writter : Red | Editor : Red
Komentar