BANTEN, Kabarsulsel-indonesia.com – Nyinyir itu untuk menyebut orang yang cerewet. Dan cerewet itu adalah kesukaan seseorang untuk menanggapi sikap atau perbuatan maupun tingkah laku serta perkataan orang lain yang lebih menjurus untuk mengolok atau bahkan meleceh semata apa yang dilakukan orang lain itu.
Sikap dan sifat nyinyir itu ternyata bukan monopoli kaum perempuan, sebab tidak kalah ceriwis dilakukan juga oleh kaum lelaki.
Simak dan perhatikan saja misalnya dalam berbagai media sosial — utamanya whatsapp yang menjadi sarana umum warga masyarakat sekarang ini, keceriwisan kaum lelaki tak kalah gayeng dan meriah, tidak kalah gaduh dan bising dari supporter olah raga di lapangan. Hingga seakan, mereka boleh berkomentar apa saja seenak perut dan seleranya sendiri.
Tapi dalam ilmu kejiwaan, perilaku seperti itu sehat juga dibutuhkan untuk melepas energi negatif yang menyumbat psikologis seperti yang dikatakan Sighmun Freud dari sublimasi psikoanalisisnya.
Yang tak elok, ada kecenderungan dari keceriwisan itu bermuatan negatif yang dimuntahkan begitu saja tanpa dimamah agar lebih halus seperti sapi mencermati makanannya agar dapat lebih halus, tidak pula dan norak sehingga bisa keterima oleh akal sehat. Jadi boleh saja nyinyir asal diolah terlebih dahulu dalsm hati yang dingin, sehingga hasilnya terasa sejuk dan dapat memberi nilai baik, tidak buruk. Karena untuk melihat dan merespon perbuatan orang lain itu pun masih ada sensitivitas atau pertanda adanya respon dalam melihat apa yang dilakukan orang lain itu tidak senantiasa salah dan jelek.
Adapun masalah pokoknya, karena orang yang bersangkutan biasanya tidak memiliki ilmu atau kemampuan untuk melihat perilaku orang lain itu dari perspektif yang alternatif yang positif.
Dalam menulis di whatsapp misalnya, ada kawan yang berupaya konsisten untuk berbagi pengalaman dan sedikit edukasi agar penampilan di media sosial itu bisa lebih santun. Karenanya, nama terang bahkan identitas diri dia tampilkan sedemikian jelas dan terbuka, agar ada yang bisa mengikuti jejak keterbukaan dan kejujuran diri, tidak seperti kebanyakan peserta afzu anggota penyinta media sosial yang masih dominan menyembunyikan identitasnya. Jadi beda dengan faksun politik yang lagi heboh tak boleh tampil dengan identitas itu. Padahal yang romantis mengidolakan calon Presiden Perempuan itu, jelas telah mengidentifikasi diri dengan identitas perjenis kelamin.
Lalu bagaimana dengan pendukung panatik dari parpol tertentu yang jelas identitasnya dari parpol tersebut.
Mirwan Musa dari Scuter Fans Club misalnya protes keras bila atas nama identitas SFC tidak boleh memberi dukungan formal pada calon presiden yang mereka jagokan. Artinya, kecamatan terhadap politik identitas itu juga bagian dari kenyinyiran yang tidak jelas juntrungannya, kecuali untuk membidik komunitas tertentu yang sudah memiliki identitas jelas untuk bersatu dan memberikan dukungan penuh pada calon Presiden yang punya misi baik dan bagus untuk membenahi compang camping negeri ini yabg susah rusak parah.
Karena itu agak aneh juga keluhan Menko Pulhukham misalnya tentang tata kelola negara ini yang kacau balau, justru tidak disijapi dengan kebih bijak misalnya melakukan langkah nyata, menghukum koruptor seberat mungkin. Karena menurut Menko Polhukham, tingkat korupsi di negeri ini sudah tidak bisa diatur dan dikendalikan.
Lha, kalau harus bisa diatur dan dikendalikan, bukankah itu artinya bisa ditolerir, namun jangan sampai keterlaluan saja seperti sekarang yang diakuinya sudah tidak bisa dikendalikan itu.
Sikap dan sifat nyinyir memang tampak dominan dalam aktivitas pemanfaatan media sosial berbasis Internet. Boleh jadi sebabnya lantaran media itu relatif lebih gampang diklik begitu saja sudah bisa mengakses publik yang tidak terbatas luasnya itu. Namun begitu, aksesori pun tidak bisa diperkirakan, karena bisa dibuka dan dibaca oleh khalayak dari semua umur, semua profesi bahkan dari beragam latar belakang serta strata sosial.
Karenanya agak aneh juga adanya kecenderungan untuk membatasi antara cebong dan kampret misalnya dalam media sosial. Karena kalau tidak setuju, toh bisa dihapus atau memblokir yang bersangkutan. Atau, bisa juga kita sendiri yang menarik diri dari grup tersebut. Jadi sikap anomali secara umum mungkin pula dapat menunjukkan sikap kedewasaan warga bangsa kita yang masih gamang dengan revolusi teknologi poin 4.
Persis seperti pada hampir semua forum formal maupun informal, semua terkesan seperti sedang berlomba untuk berada di depan dalam semua topik pembicaraan. Dalam aktivitas pergerakan pun, semua cenderung untuk menduduki posisi komandan, meski kapasitasnya tidak cukup memadai untuk dijadikan panutan. Dan biasanya — yang utama adalah rasa tanggung jawab — sangat jeblok.
Agaknya, itulah sebab utama dari sebuah kelompok aktivis pergerakan tidak langgeng dan gampang “pecah kongsi”, atau bahkan menimbulkan permusuhan yang sangat tidak produktif, karena cenderung untuk saling menenggelamkan antara yang satu dengan yang lain. Dan biasanya, dari kondisi seperti inilah kenyinyiran itu membiak lalu beranak pihak semakin liar dan buas.
Ulasan seorang sahabat saja yang sudah berupaya dibuat lugu dan santun, tidak luput dari cercaan. Meski yang bersangkutan sendiri tidak memiliki kemampuan untuk membuat analisis yang paling ringan dan enteng sekalipun. Tapi kepongahan, seakan semua bisa serta mampu dia lakukan sendiri.
Begitulah ikhwal nyinyir bermula dan berkembang biak seperti kodok di media sosial yang tak pernah disadari bisa menjadi sarana komunikasi, informasi dan publikasi yang baik sekaligus mengejukasi dan memotivasi daya kreatif yang lebih positif maupun produktif. Lalu dengan begitu pun, budaya hoax dan perilaku buzeer yang meresahkan kita itu, bisa dieliminir menuju titik nol.
Banten, 10 Oktober 2022
Komentar