Ketapang, Kabarsulsel-Indonesia.com | Desa Sungai Bakau di Ketapang, Kalimantan Barat, menyimpan kekayaan budaya yang luar biasa dalam bentuk kerajinan anyaman pandan berduri. Sayangnya, potensi besar ini sering terhambat oleh minimnya dukungan dan bimbingan pakar, sehingga perajin setempat kesulitan mengembangkan kreativitas dan kualitas produk mereka.
Melihat situasi ini, Tim KK Literasi Budaya Visual ITB bersama sejumlah pakar meluncurkan program pengabdian masyarakat yang bertujuan untuk membina para perajin anyaman pandan. Pelatihan intensif ini mencakup teknik pewarnaan alami, variasi desain, dan teknik menjahit.
“Para perajin di sini memiliki semangat luar biasa, tetapi minimnya bimbingan dari pakar membuat mereka sulit bersaing di pasar global,” ujar Ibu Ida Haryuni, Ketua UMKM Sa’a Family, Desa Sungai Bakau. Kendala ini sangat disayangkan mengingat anyaman pandan merupakan ciri khas budaya Sungai Bakau yang seharusnya bisa diangkat ke level internasional.
Pada 25 Juni 2024, pelatihan dimulai dengan materi teknik pewarnaan alami yang dipandu oleh Dr. Dian Widiawati, M.Sn dari Kriya Tekstil FSRD ITB. Pewarna alami yang mudah didapat di sekitar lingkungan, seperti daun ketapang dan kulit bawang, digunakan untuk menggantikan pewarna sintetis yang sulit diperoleh di daerah tersebut. Para perajin dengan antusias mencoba teknik baru ini, berharap produk mereka lebih menarik dan ramah lingkungan.
Tidak hanya itu, Dr. Husen Hendriyana, S.Sn., M.Ds. dari ISBI Bandung, mengajarkan teknik variasi desain untuk meningkatkan daya tarik produk. Para perajin diajarkan menyatukan bahan-bahan seperti kain denim, katun, atau kulit dengan anyaman pandan, menghasilkan produk yang unik dan berpotensi tinggi di pasar ekspor.
Namun, meski pelatihan ini memberikan harapan baru, tantangan besar tetap ada: minimnya pendampingan berkelanjutan dari pakar. “Kami butuh bimbingan yang konsisten untuk memastikan kualitas produk terus meningkat,” tegas Dr. Tri Sulistyaningtyas, M.Hum., Ketua Program Pengabdian Masyarakat. Tanpa pendampingan ini, sulit bagi perajin untuk terus berinovasi dan menjaga kualitas produk mereka.
Pelatihan yang dilakukan selama dua hari ini membuka mata para perajin akan potensi besar yang bisa mereka capai. Namun, tanpa komitmen pemerintah dan pihak terkait untuk terus mendampingi dan mendukung, potensi tersebut bisa saja kembali terkubur. “Semangat saja tidak cukup, kami butuh dukungan nyata,” ujar Ibu Ida dengan nada penuh harap.
Program ini membuktikan bahwa perajin anyaman pandan Sungai Bakau memiliki potensi besar untuk dikenal di tingkat lokal, nasional, bahkan internasional. Tapi tanpa pendampingan pakar yang berkelanjutan, upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan kerajinan ini bisa berakhir sia-sia. Perlu ada aksi nyata dari pemerintah dan pihak terkait untuk memastikan warisan budaya ini tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang.
Komentar