Opini | Kabarsulsel-Indonesia.com; Merujuk perjalanan reformasi sejak tahun 1998 hingga saat ini di Indonesia, ketua umum perkumpulan wartawan online dwipantara (PWOD) Feri Rusdiono melakukan kajian komunikasi politik yang holistik bahwa setidaknya ada tujuh hal mendasar bagi masyarakat Indonesia untuk kemungkinan tidak memilih salah satu dari tiga Paslon Pilpres 2024:
Pertama
Salah satu Anggota Paslon/Paslon yang dipersepsikan oleh masyarakat lebih menonjolkan program/menawarkan “ikan” bukan “pancing”.
Kedua
Salah satu Anggota Paslon/Paslon yang dipersepsikan oleh masyarakat punya jejak masa lalu yang “menghalalkan” politik identitas sempit (eksklusivitas) yang mengadu domba antar kelas atau antar golongan.
Ketiga
Salah satu Anggota Paslon/Paslon yang dipersepsikan oleh masyarakat berpotensi bertindak otoriter dan emosional yang meledak-ledak.
Empat
Salah satu Anggota Paslon/Paslon yang dipersepsikan oleh masyrakat berpotensi mengembalikan sistem pemerintahan Orde Baru (Orba) yang ororiter di Indonesia.
Lima
Salah satu Anggota Paslon/Paslon yang dipersepsikan oleh masyarakat memiliki tingkat kecerdasan emosional lebih rendah dari dua Paslon lainnya.
Enam
Salah satu Anggota Paslon/Paslon yang dipersepsikan oleh masyarakat memiliki tingkat kecerdasan spiritual lebih rendah dari dua Paslon lainnya.
Tujuh
Salah satu Anggota Paslon/Paslon yang dipersepsikan oleh masyarakat memiliki tingkat kecerdasan intelektual lebih rendah dari dua Paslon lainnya.
Feri Rusdiono selaku Ketua Umum Perkumpulan Wartawan Online Dwipantara (PWOD) beranggapan bahwa dari semua hasil survey yang ada dan merujuk kepada teori probability sebagai landasan penelitian survey, maka hampir dipastikan Pemilihan Presiden berlangsung 2 putaran. namun jika terjadi satu putaran, maka terjadi penyimpangan dari teori probability itu sendiri yang menimbulkan PERTANYAAN BESAR (BIG ?).
Bertindak dan berpikir kritis di negara maju berbeda dengan masyarakat Indonesia yang tidak kritis (akibat tingkat literasi rendah), sehingga ketika masyarakat Indonesia dihadapkan pada kondisi adanya perbedaan antara teori dan praktik akan muncul sikap acuh, tidak berusaha mencari penyebab perbedaan teori dan praktik, apalagi membuat penyesuaian sebuah konsep/teori dengan kehidupannya sendiri.
Setelah Saya Sendiri menyimpulkan bahwa teori tidak sama dengan praktik, manusia yang tidak kritis ini meninggalkan tantangan dan merasa dirinya tidak perlu lagi memikirkan dan mencari solusi dari tantangan yang dihadapinya karena sudah merasa bahwa yang salah adalah teorinya, bukan dirinya yang tidak kritis.
Komentar