Masa Depan Politik Papua: Menimbang Kearifan Lokal dan Hak Politik Orang Asli

Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Ketua Lembaga Masyarakat (LMA) Kabupaten Fakfak Falentinus Kabes kembali menyoroti pro-kontra soal Orang Asli Papua sebagai kepala daerah provinsi dan juga Kabupaten/Kota.

Dalam wawancaranya bersama media ini Ketua LMA Fakfak yang akrab di sapa Falka menegaskan jika dirinya merasa perlu mengangkat isu penting terkait Pemilihan Gubernur dan Bupati di Papua, khususnya di Fakfak. Ini bukan hanya tentang pemilihan pemimpin, tetapi tentang menjaga keadilan dan kearifan lokal yang menjadi dasar identitas kita.

Falka juga menegaskan jika Hak politik orang Papua, terutama dalam Pemilihan DPRP dan DPRK, adalah isu krusial yang harus diperjuangkan dengan bijak. Namun, desakan agar Bupati dan Wakil Bupati harus selalu Orang Asli Papua, menurut saya, masih terlalu dini dan belum didukung regulasi yang memadai di tingkat kabupaten atau kota. Kembali ke kearifan lokal dalam menentukan pemimpin adalah langkah yang lebih bijaksana.

Fakfak, dengan keberagaman penduduknya, memiliki tantangan tersendiri dalam menyamakan persepsi dengan daerah lain di Papua. Fakfak dihuni oleh penduduk plural yang telah lama menetap dan, berdasarkan Undang-Undang Otsus, mereka juga termasuk Orang Asli Papua. Ini menuntut pemahaman yang lebih mendalam untuk membedakan antara Orang Papua dan Orang Asli Papua.

Perbedaan ini harus jelas. Misalnya, dalam Perdasi Nomor 4, disebutkan bahwa keturunan dari ibu masuk kategori Orang Asli Papua. Namun, ini perlu ditinjau karena keturunan tersebut tidak membawa marga orang Mbaham atau marga asli Papua. Teman-teman di MRP harus memperjuangkan kejelasan mengenai hal ini.

Terkait hak politik Bupati dan Wakil Bupati, jika tekanan terus meningkat tanpa ada regulasi yang jelas, pemilu di Papua bisa terancam ditunda. Ini adalah skenario yang sangat tidak diinginkan karena tidak ada cukup waktu bagi pemerintah untuk membuat perpu atau regulasi yang mendukung pandangan MRP dan DPRP.

Intinya, hak politik ini harus dikembalikan pada kearifan lokal yang kita junjung tinggi. Filosofi “satu tungku tiga batu” di Fakfak adalah contoh bagaimana kita bisa menjaga kedamaian dan harmoni di tengah keberagaman. Saya mengimbau seluruh masyarakat Fakfak untuk tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu yang sulit dicapai. Kita perlu merencanakan dengan matang sebelum menyampaikan ke publik Papua.

Sebagai Ketua LMA Kabupaten Fakfak, saya berharap teman-teman di MRP dan DPRP berpikir positif namun tetap kritis terhadap dampak negatif yang mungkin timbul. Kita harus menjaga keseimbangan antara aspirasi dan realitas demi masa depan yang lebih baik untuk Papua.

Komentar