Marga Komber Tonggo Ultimatum Tutup Pipa Air Besar: “Kami Bukan Penonton di Tanah Sendiri!”

Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com |  Kesabaran Marga Komber Tonggo nyaris habis. Setelah dua surat resmi tak kunjung direspons Pemkab Fakfak, keluarga pemilik hak ulayat ini kembali mengancam akan menutup paksa pipa air milik PDAM yang berada pada wilayah adat mereka di Kampung Air Besar.

Ancaman bukan sekadar gertakan. Pada Januari 2025 lalu, pipa sempat dipalang. Aksi tersebut baru dihentikan setelah ada janji mediasi dari Pemerintah Daerah. Namun setelah hampir enam bulan, yang tersisa hanyalah janji—tanpa solusi.

“Kami bosan dipermainkan. Ini bukan tanah kosong. Ini hak ulayat kami. Pemerintah jangan main diam saja lalu terus manfaatkan fasilitas di atas tanah kami tanpa kejelasan,” tegas Jojau Kanantare Hermanus Komber Tonggo, Minggu (6/7), saat ditemui.

Surat Dua Kali, Jawaban Nihil

Surat pertama dikirim pada Januari 2025. Surat kedua menyusul pada 28 April 2025. Kedua surat itu memuat permintaan mediasi terkait keberadaan tiga fasilitas pemerintah yang berdiri di atas tanah ulayat: Pipa Air PDAM, Kolam Renang Air Besar milik BPKAD, dan bangunan persemayaman milik Dinas Perkebunan.

Sayangnya, kedua surat itu seolah menguap. Tak ada surat balasan. Tak ada undangan dialog. Yang ada hanyalah pembiaran.

6 Tuntutan, 0 Tanggapan

Tak hanya menyoal keberadaan fasilitas, Marga Komber Tonggo juga menyodorkan enam tuntutan tegas. Antara lain:

  1. Rekalkulasi kompensasi sejak awal operasional pipa air.
  2. Penolakan mutlak pelepasan tanah adat.
  3. Skema bagi hasil 30% dari keuntungan.
  4. Rekrutmen tenaga kerja lokal sesuai usulan pemilik ulayat.
  5. Pemalangan ulang jika tak ditanggapi.
  6. Ancaman pemutusan total jika diabaikan di masa mendatang.

“Ini bukan soal uang semata. Ini soal penghormatan terhadap tanah dan eksistensi kami sebagai masyarakat adat,” ujar Hermanus.

Diamnya Pemda, Memantik Konflik Sosial?

Diamnya Pemkab Fakfak justru mengancam stabilitas sosial. Masyarakat adat merasa dilukai dan tidak dihargai, padahal mereka adalah pemilik sah tanah tempat berdirinya fasilitas vital pemerintah.

“Sikap pasif pemerintah bisa membakar bara konflik. Yang dituntut bukan hal muluk—hanya mediasi dan pengakuan hak. Mengapa harus bungkam?” kritik Hermanus.

Tanah Adat Bukan Gratisan

Fenomena ini kembali membuktikan satu hal: pemerintah daerah sering kali mengambil jalan pintas dalam pemanfaatan tanah adat tanpa prosedur pelepasan, ganti rugi, atau bagi hasil yang adil. Mereka membangun, menggunakan, dan menikmati—sementara pemilik tanah menonton dari pinggir.

Ironisnya, ketika protes muncul, suara masyarakat adat justru diredam lewat janji-janji tanpa bukti.

Ultimatum Terakhir

Kini, Marga Komber Tonggo memberikan tenggat sampai tanggal 10 Juli 2025. Jika dalam waktu dekat tak ada niat baik dari Pemda, pemalangan akan dilakukan ulang. Dan kali ini, mereka bertekad palang tak akan dibuka sebelum ada hitam di atas putih.

“Cukup sudah. Kami bukan penjaga pipa. Kami tuan tanah. Jangan uji kesabaran kami lebih jauh,” tegas Hermanus menutup pernyataan.

Komentar