Malam Kelam di Langgur: Obama Serukan Peran Tokoh Agama, Sindir Raja yang Kehilangan Wibawa

Maluku Tenggara, Kabarsulsel-Indonesia.com | Maluku Tenggara tengah menghadapi fenomena sosial yang mencerminkan pergeseran nilai dan otoritas. Jika di masa lalu titah para raja dijunjung tinggi bak hukum tak tertulis, kini wibawa mereka kian pudar. Masyarakat tak lagi menundukkan kepala, bahkan tak sedikit yang mengabaikan perintah para raja yang dinilai lebih sibuk dengan kepentingan politik daripada menjaga harmoni sosial.

Di tengah runtuhnya otoritas adat, peran tokoh agama justru semakin strategis dalam menjaga keseimbangan sosial dan meredam konflik yang sering terjadi di kalangan pemuda. Salah satu figur yang dinilai konsisten dalam upaya tersebut adalah Romo Tom Ratuanak, Pr (Projo), Imam Diosesan Keuskupan Amboina. Dengan intensitas komunikasi lintas agama yang tinggi, ia berperan aktif dalam mendamaikan berbagai konflik yang melibatkan kelompok pemuda.

Ketua PWI Kabupaten Maluku Tenggara, Agustinus Rahakbauw, atau yang akrab disapa “Mester Obama,” menegaskan bahwa peran tokoh agama sangat krusial dalam situasi saat ini. Namun, ia juga menyoroti lemahnya penyelesaian konflik oleh aparat keamanan, yang sering kali tidak tuntas karena berbagai pertimbangan.

“Peran tokoh agama harus menjadi garda terdepan dalam menyelesaikan konflik, terutama yang terjadi di Kabupaten Maluku Tenggara. Peristiwa ‘Malam Minggu Kelam’ di Landmark Langgur adalah contoh nyata betapa perintah raja kini tak lagi digubris masyarakat. Mereka kehilangan kepercayaan karena para raja saat ini lebih condong pada kepentingan politik praktis,” tegas Rahakbauw.

Ia menekankan bahwa penyelesaian konflik tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan sosial, tetapi juga harus didukung dengan langkah hukum yang tegas agar ada efek jera bagi para pelaku kekerasan. Oleh karena itu, Rahakbauw menyatakan dukungan penuh terhadap Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa, SH., LL.M, yang mendesak aparat keamanan untuk segera memproses hukum para pelaku insiden di Landmark Langgur.

“Saya sangat mendukung sikap tegas Pak Gubernur. Jika aparat tidak bertindak, maka kekerasan semacam ini bisa terulang kapan saja. Jangan sampai ketidakadilan justru semakin memperburuk situasi,” ujarnya.

Gubernur Maluku: Hukum Harus Tegas, Tak Ada Ruang untuk Pembiaran

Dalam wawancara dengan LaskarMaluku.com pada Senin (17/03/25), Gubernur Hendrik Lewerissa menegaskan bahwa Polresta Maluku Tenggara harus bertindak tanpa ragu-ragu dalam menindak para pelaku kekerasan.

“Hukum di negara ini harus ditegakkan tanpa pandang bulu! Tidak boleh ada pembiaran terhadap pelaku kejahatan. Siapapun yang melanggar hukum harus diproses sampai tuntas,” tegasnya.

Lebih jauh, Gubernur Lewerissa juga mengajak tokoh pemuda dan tokoh adat untuk bekerja sama dengan aparat TNI-Polri dalam menjaga keamanan dan ketertiban. Ia menekankan bahwa penyelesaian konflik tidak hanya bisa dilakukan melalui pendekatan hukum, tetapi juga harus diiringi dengan pencarian solusi yang dapat mencegah konflik serupa di masa depan.

“Kita semua bertanggung jawab menjaga kedamaian di tanah yang kita cintai ini. Mari kita duduk bersama mencari solusi terbaik agar konflik bisa terselesaikan dengan baik, tetapi tetap dengan prinsip keadilan. Para pelaku kekerasan tetap harus diproses sesuai hukum yang berlaku,” imbuhnya.

Refleksi: Wibawa Raja Memudar, Tokoh Agama Jadi Pilar Perdamaian

Insiden Malam Minggu Kelam di Landmark Langgur menjadi alarm keras bahwa tatanan sosial di Maluku Tenggara tengah mengalami pergeseran signifikan. Jika dulu perintah raja adalah hukum yang tak terbantahkan, kini masyarakat lebih percaya kepada tokoh agama yang dianggap lebih netral dan berorientasi pada kepentingan sosial.

Namun, upaya perdamaian tak cukup hanya bergantung pada tokoh agama. Tanpa dukungan penegakan hukum yang tegas, perdamaian hanya akan menjadi solusi sementara yang tak menyentuh akar masalah. Oleh karena itu, sinergi antara tokoh agama, tokoh adat, aparat keamanan, dan pemerintah menjadi kunci utama dalam menjaga stabilitas daerah.

Pertanyaannya, apakah Maluku Tenggara siap menghadapi perubahan ini? Atau justru akan terus terjebak dalam siklus konflik yang berulang?

Komentar