Malra,Kabarsulsel-Indonesia.com. Krisis minyak tanah di Kabupaten Maluku Tenggara kembali mencapai titik krusial. Dua minggu terakhir, suplai minyak tanah nyaris tak terlihat di masyarakat. Antrean tetap pendek, pembeli hanya 20–30 orang, dan tiap orang dibatasi satu hingga dua jerigen.
Namun anehnya, stok selalu habis dalam tempo singkat, bahkan kurang dari empat jam. Pola ini memunculkan kecurigaan publik: ke mana sebenarnya minyak tanah itu mengalir?
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Maluku Tenggara, Agustinus B. Rahakbauw, menjadi salah satu suara paling lantang. Ia menilai situasi terbaru ini justru memperkuat dugaan adanya permainan distribusi yang selama ini dibiarkan tanpa penindakan.
“Kalau setelah RDP saja krisis makin parah, itu berarti ada yang tidak beres. Kita bisa mengindikasikan bahwa para agen telah memberikan informasi tidak jujur kepada Komisi II terkait distribusi minyak tanah,” ujarnya.
Rahakbauw menegaskan, stok yang hilang dalam dua minggu terakhir mustahil diserap murni oleh pembeli langsung. Apalagi antrean di pangkalan tidak pernah mencapai ratusan orang.
“Tidak mungkin minyak masuk, lalu dalam tiga jam habis hanya karena dibeli 20–30 orang. Fakta lapangan tidak bisa menipu,” kata Rahakbauw.
Ia menyebut banyak laporan penimbunan yang muncul di berbagai titik seperti kawasan Perumnas, Watdek, dan sejumlah sudut Langgur.
Aktivitas mencurigakan ini, menurutnya, mengarah pada satu pertanyaan besar: untuk apa minyak tanah ditimbun, dan siapa yang mengendalikannya?
“Ini bukan sekadar dugaan. Aktivitas penampungan itu terlihat, dan pemerintah tidak boleh pura-pura tidak tahu,” tegasnya.
Menurut Rahakbauw, absennya distribusi selama dua minggu terakhir membuktikan bahwa jalur yang dikoordinir agen tidak transparan dan sarat penyimpangan.
Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar Komisi II DPRD bersama para agen beberapa waktu lalu pun ia sebut sebagai panggung sandiwara.
“RDP itu tidak menghasilkan apa pun. Faktanya, setelah rapat justru situasi makin mati. Ini drama antara agen dan DPRD yang menyisakan masyarakat sebagai korban,” katanya.
Ia kembali menegaskan bahwa pangkalan sebagai perantara distribusi tidak lagi relevan. Terlalu banyak celah manipulasi, dari pengurangan jatah hingga alih distribusi ke pihak tertentu. Karena itu, ia mendesak Pertamina dan pemerintah daerah menerapkan sistem distribusi langsung ke RT/RW agar jalurnya lebih pendek dan pengawasan lebih kuat.
“Kalau minyak masuk tapi tidak sampai ke masyarakat, maka distribusinya bocor. Dan kebocoran itu terjadi di titik-titik yang tidak diawasi,” ujarnya.
Rahakbauw mendesak pemerintah daerah dan DPRD segera menghentikan praktik saling lempar tanggung jawab.
“Kelangkaan minyak tanah ini persoalan tahunan, tapi selalu dihadapi dengan langkah setengah hati. Dua minggu ini harus menjadi alarm keras: ada yang salah dan itu harus dibongkar,” katanya.
Ia memperingatkan bahwa kelangkaan berkepanjangan berpotensi memicu gejolak sosial di Maluku Tenggara.
“Ini kebutuhan pokok. Jangan tunggu masyarakat marah baru pemerintah bergerak. Tindakan tegas harus ada sekarang juga,” pungkasnya
(Elang Kei)









Komentar