Tual, Maluku Tenggara, Kabarsulsel-Indonesia.com | Kelangkaan minyak tanah di Kota Tual dan Kabupaten Maluku Tenggara (Malra) kembali menjadi sorotan, terutama di bulan suci Ramadan, ketika kebutuhan bahan bakar rumah tangga meningkat drastis.
Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Tual/Malra melakukan survei di berbagai wilayah hingga Kei Besar Selatan dan menemukan indikasi kuat adanya ketidakteraturan dalam distribusi serta dugaan permainan harga di tingkat pangkalan dan pengecer.
Aziz Halid Rahayaan, S.H., salah satu kader Permahi, menegaskan bahwa persoalan ini bukanlah hal baru, melainkan masalah kronis yang tak kunjung terselesaikan.
“Kelangkaan ini terjadi akibat beberapa faktor, seperti disparitas harga, konversi minyak tanah ke gas LPG, serta kebijakan penghematan anggaran yang tidak berpihak pada masyarakat,” ujarnya.
Hasil survei Permahi menunjukkan adanya pola penjualan yang tidak tertata. Sejumlah pengecer menerapkan sistem pembelian menggunakan Kartu Keluarga (KK) sebagai syarat, sementara distribusi dari pangkalan ke pengecer berjalan lamban.
Bahkan, Permahi menduga adanya praktik panic buying serta potensi penimbunan minyak tanah oleh pihak tertentu.
Dugaan Penyimpangan di Distribusi Minyak Tanah
Selain temuan tersebut, Permahi juga mendapatkan informasi dari masyarakat bahwa ada indikasi penyalahgunaan minyak tanah untuk kepentingan industri perikanan.
“Seharusnya BBM jenis ini diperuntukkan bagi rumah tangga, tetapi ada dugaan bahwa mobil Pertamina justru menyuplai ke mesin tempel nelayan yang masih menggunakan minyak tanah,” ungkap Aziz.
Lebih jauh, ia menyoroti inkonsistensi PT Pertamina dalam memasok minyak tanah ke wilayah Tual dan Malra. Pihak pengecer mengakui bahwa pasokan minyak bisa datang hanya sekali atau dua kali dalam seminggu, jauh dari kebutuhan masyarakat. Permahi pun menyesalkan lemahnya pengawasan pemerintah dalam memastikan distribusi yang adil dan merata.
“Jika benar ada permainan dalam distribusi ini, maka kami menilai ada unsur pelanggaran hukum yang bisa dikenai delik pidana, sesuai dengan aturan Menteri ESDM,” tegas Aziz.
Menurunnya Kepercayaan Publik terhadap PT Pertamina
Kritik terhadap Pertamina semakin tajam, terutama setelah mencuatnya skandal dugaan korupsi tata kelola minyak mentah PT Pertamina tahun 2018-2023 yang merugikan negara hingga Rp 193,7 triliun. Aziz menilai bahwa kepercayaan publik terhadap Pertamina semakin merosot akibat kasus ini.
“Kasus korupsi di tingkat pusat ini mencerminkan betapa lemahnya pengawasan dalam tata kelola energi di negeri ini. Bagaimana kita bisa percaya bahwa distribusi minyak tanah di daerah seperti Tual dan Malra berjalan dengan baik jika di pusat saja terjadi penyimpangan besar?” katanya.
Tuntutan Permahi: Evaluasi Kepala Cabang Pertamina Tual
Permahi menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Kepala Cabang PT Pertamina Tual. Selain itu, mereka menuntut adanya kontrol ketat terhadap pangkalan minyak tanah agar tidak bermain harga dan merugikan masyarakat.
“Jika di pusat kota saja minyak tanah sulit didapat, bagaimana dengan masyarakat di pulau-pulau terpencil? Kami menemukan bahwa di beberapa kampung di Kei Besar Selatan, warga harus beralih ke kayu bakar karena minyak tanah sangat langka,” bebernya.
Permahi mendesak PT Pertamina Tual/Malra untuk melakukan distribusi yang lebih transparan dan merata hingga ke pelosok, agar masyarakat tidak terus-menerus menjadi korban ketidakadilan dalam pengelolaan energi.
Jika tidak ada langkah nyata, mereka siap membawa temuan ini ke ranah hukum dan mendorong pemerintah pusat untuk turun tangan.
Komentar