Koperasi Yamdena Bayar Pajak, Penyewa Diancam Usir dari Bili

Uncategorized111 views

Tanimbar.Kabarsulsel-Indonesia.com — Pengelolaan aset milik Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Tanimbar (KKT) berupa tanah dan bangunan yang terletak di pusat Kota Larat, Kecamatan Tanimbar Utara, menuai kritik tajam. Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Tenaga Kerja (Disperindag-Naker) KKT, selaku pengelola aset tersebut, dinilai melakukan banyak pelanggaran mekanisme serta kebijakan sepihak yang merugikan masyarakat, terutama para pengguna pasar tradisional.

Hal ini disampaikan oleh Petrus Batkunde, Ketua sekaligus pendiri Koperasi Serba Usaha (KSU) Yamdena-Larat. Ia menyoroti mekanisme kontrak, pembayaran pajak, serta tata kelola penggunaan tanah yang menurutnya tidak sesuai dengan aturan yang berlaku.

“Kami sangat dirugikan dengan sistem yang diterapkan saat ini. Disperindag membuat kebijakan sepihak yang mencampuradukkan kewenangan antara dinasnya dan Badan Pendapatan Daerah. Bahkan banyak keputusan yang diambil tanpa dasar hukum yang jelas,” ujar Batkunde kepada media ini, Sabtu (12/4/2025).

Berkaitan dengan hal itu, Batkunde membeberkan bahwa KSU Yamdena telah menggunakan tanah milik Pemda seluas 1.100 meter persegi sejak tahun 2013. Tanah tersebut diberikan melalui surat pernyataan Bupati Maluku Tenggara Barat saat itu, Bito Temmar, untuk mendukung pembangunan Pasar Tradisional Program Revitalisasi Pasar dari Kementerian Koperasi dan UKM RI.

Namun, dalam evaluasi tahun 2015 oleh bagian aset Pemda, dipastikan bahwa surat tersebut tidak menyebutkan kata “hibah”, sehingga tanah tersebut tetap berstatus milik Pemda dan hanya disewakan kepada KSU Yamdena. “Kami patuh hukum dan membayar pajak atas tanah itu setiap tahun berdasarkan Peraturan Daerah,” tambah Batkunde.

Permasalahan muncul ketika Disperindag, dalam praktiknya, tidak membuat kontrak langsung antara Pemda dan KSU Yamdena, melainkan langsung kepada para penyewa bilik. Alhasil, para penyewa dianggap sebagai wajib pajak, meskipun secara hukum, KSU Yamdena-lah yang membayar pajak atas seluruh lahan tersebut.

“Ini sangat rancu. Pajaknya kami yang bayar, tapi yang tercatat sebagai wajib pajak adalah penyewa bilik. Bahkan, dari 48 penyewa, hanya dua yang tercantum dalam daftar wajib pajak saat tim dari BPKP melakukan pemeriksaan lapangan. Nama saya sebagai penanggung jawab koperasi pun tidak masuk,” jelasnya dengan nada kecewa.

Ia menyayangkan, kontribusi KSU Yamdena terhadap daerah yang mencapai lebih dari 50 juta rupiah per tahun tidak dibarengi dengan perlakuan yang adil dan transparan dari dinas terkait. Kondisi ini menimbulkan pertanyaan: apabila suatu saat koperasi diminta pertanggungjawaban atas penggunaan lahan, bagaimana bisa menunjukkan bukti yang sah?

Lebih jauh, Batkunde mengungkapkan adanya ketidakwajaran dalam penetapan kewajiban pajak kepada para penyewa bilik. Pengukuran bilik bahkan dilakukan oleh petugas UPTD Pendapatan Larat, bukan oleh Disperindag. “Petugas langsung menetapkan ukuran dan nama penyewa sebagai wajib pajak tanpa surat kontrak. Ini menyalahi prosedur,” ujarnya.

Ia juga menyinggung surat dari Disperindag tertanggal 11 Maret 2025 yang menurutnya bernada ancaman. Dalam surat itu disebutkan bahwa apabila tidak dilakukan pembayaran maupun penandatanganan kontrak, maka lahan atau ruangan akan ditarik dan disewakan kepada pihak lain. Bahkan, ada ancaman lisan dari petugas UPTD kepada beberapa penyewa yang tidak mau membayar.

“Kalau tidak bayar, keluar dari bilik! Begitu kata petugas kepada para pedagang,” ungkapnya menirukan ucapan petugas. Akibatnya, banyak penyewa membayar pajak yang bukan menjadi kewajibannya dan hanya menerima kwitansi tanpa kontrak yang sah.

Ironisnya, Batkunde juga mengungkap tindakan sepihak dari oknum petugas Disperindag yang melakukan pengukuran tanah di area pasar untuk dikontrakkan kepada pengusaha lain, padahal area tersebut masih dalam pengelolaan KSU Yamdena. “Bangunan pasar milik Pemda masih banyak yang kosong. Kenapa harus mengambil lahan yang sudah dikelola dan mengganggu akses pedagang lain? Ini patut dicurigai, berkali-kali ia mencoba berkoordinasi dengan Disperindag dan Badan Pendapatan Daerah, namun tak kunjung mendapat kejelasan mengenai status dan luas tanah yang dikontrakkan. Oleh karena itu, ia meminta langsung kepada Bupati KKT agar turun tangan.

“Kami minta Pak Bupati segera mengintervensi. Ini bukan hanya soal ketidakadilan, tapi soal ketertiban administrasi. Kami ingin kewajiban dan hak kami sebagai mitra Pemda jelas dan tidak diganggu dengan tekanan sepihak dari petugas yang menyalahgunakan kekuasaan,” pungkas Batkunde.

Saily

Komentar