Langgur, Kabarsulsel-Indonesia.com | 3 Juni 2025 — Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Kabupaten Maluku Tenggara, Agustinus Buce Rahakbauw, meluruskan informasi yang beredar luas di media sosial dan grup percakapan daring terkait dugaan keterkaitan antara aktivitas penggusuran lahan di kawasan Nerong dengan banjir yang menerjang beberapa ohoi di wilayah Kei Besar.
Dalam pernyataan tegasnya, Rahakbauw menyebut informasi tersebut sebagai hoaks dan fitnah murahan yang sengaja dihembuskan pihak-pihak tertentu untuk membentuk opini publik yang keliru. Menurut dia, tudingan tersebut tidak memiliki dasar ilmiah, data faktual, maupun logika spasial yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Luas lahan yang digusur di kawasan Nerong belum mencapai satu hektare. Jadi bagaimana mungkin itu bisa menyebabkan banjir di Ohoirenan atau Tamangil yang letaknya cukup jauh dan terpisah secara geografis?” ujar Rahakbauw, Selasa siang.
Faktor Geografis Lebih Dominan
Rahakbauw menjelaskan bahwa banjir yang melanda Ohoirenan dan sejumlah ohoi lainnya lebih disebabkan oleh faktor topografi serta infrastruktur lingkungan yang belum memadai.
Ia menyoroti posisi Ohoirenan yang berada di lereng bukit, membuat wilayah tersebut sangat rentan terhadap limpasan air hujan berintensitas tinggi.
“Begitu hujan deras turun, air dari perbukitan langsung mengalir ke bawah tanpa hambatan. Ini diperparah dengan tidak adanya talut penahan dan saluran drainase yang mampu mengalirkan air secara teratur,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa banjir serupa pernah terjadi sebelumnya, bahkan sebelum ada aktivitas penggusuran di kawasan Nerong. Artinya, bencana ini bukanlah hal baru dan tidak serta-merta bisa dikaitkan dengan aktivitas perusahaan atau pihak luar.
Klarifikasi Soal AMDAL dan Perizinan
Isu lain yang mencuat di tengah masyarakat adalah soal Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Sejumlah pihak menuding aktivitas perusahaan tidak melalui prosedur kajian lingkungan yang layak. Menanggapi hal ini, Rahakbauw menegaskan bahwa AMDAL baru diwajibkan untuk lahan di atas lima hektare.
Sementara itu, proyek-proyek kecil dengan luasan lahan di bawah ketentuan tersebut hanya diwajibkan menyusun dokumen UKL-UPL (Upaya Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan).
“Regulasinya jelas. Tapi banyak yang pura-pura tidak tahu hanya karena ingin membangun narasi yang mencurigakan. Ini tindakan tidak etis dan bisa memperkeruh suasana,” katanya.
Ia juga mengingatkan bahwa perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut telah melalui tahapan perizinan sesuai mekanisme yang berlaku, termasuk koordinasi dengan pemerintah daerah dan tokoh adat setempat.
Tak Ada Penjualan Lahan ke PT Johnlin Group
Salah satu isu yang paling banyak dibicarakan publik adalah dugaan penjualan tanah oleh warga Ohoirenan kepada PT Johnlin Group, sebuah perusahaan yang dikabarkan tengah melakukan ekspansi usaha di wilayah itu.
Namun, Rahakbauw membantah informasi ini dengan menyebutnya sebagai fitnah yang berbahaya dan bisa memicu konflik horizontal antarwarga.
“Silakan periksa langsung ke perusahaan. Sampai hari ini, tidak ada satu bidang pun tanah milik warga Ohoirenan yang dijual ke Johnlin. Ini isu yang sengaja dipelintir,” tegasnya.
Ia menilai penyebaran isu ini sangat tidak bertanggung jawab dan bisa merusak relasi sosial serta kepercayaan antarwarga. Apalagi, masyarakat Kei dikenal memiliki ikatan adat yang kuat dan sensitif terhadap persoalan tanah.
Imbauan Publik: Verifikasi Informasi, Jaga Harmonisasi
Di akhir keterangannya, Ketua PWI Malra itu mengimbau masyarakat agar lebih bijak dalam menyerap dan menyebarkan informasi, terutama di era digital saat ini yang sangat rentan terhadap manipulasi narasi.
“Masyarakat harus cerdas dan kritis. Jangan asal percaya, apalagi menyebarkan informasi yang belum diverifikasi. Ini soal tanggung jawab bersama menjaga keamanan dan keharmonisan di Maluku Tenggara,” ujarnya.
Ia juga mengajak tokoh masyarakat, pemuda, dan insan pers untuk memainkan peran strategis dalam menciptakan ruang diskusi yang sehat dan produktif — bukan justru menyulut api konflik lewat spekulasi yang tidak berdasar.
“Kita semua punya tanggung jawab moral menjaga tanah Kei dari konflik internal. Jangan korbankan persaudaraan hanya karena informasi yang salah arah,” tutupnya.
Komentar