Ketidakadilan dalam Politik: Mengapa Jokowi Selalu Disalahkan?

OPINI860 views

Oleh: Bruri Tumiwa *)

Dalam dinamika politik Indonesia, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sering kali menjadi pusat perhatian—baik sebagai tokoh yang dipuji maupun yang dikritik. Sebagai kepala negara, Jokowi dianggap sebagai sosok yang bertanggung jawab atas berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa ini. Namun, di balik tanggung jawab tersebut, ada ketidakadilan yang sering kali dirasakan, di mana Jokowi seolah-olah selalu menjadi kambing hitam, meskipun masalah yang muncul bukan sepenuhnya berada di bawah kendalinya.

Mengapa Jokowi yang Disalahkan?

Ketika kita berbicara tentang ketidakpuasan publik terhadap pemerintah, sering kali persepsi masyarakat tertuju langsung kepada presiden. Sebagai pemimpin eksekutif, Jokowi berada di garis depan dan dianggap sebagai representasi seluruh lembaga negara. Ketika ada keputusan yang tidak populer, seperti revisi undang-undang atau kebijakan tertentu, protes dan kritik langsung mengarah kepada Jokowi, meskipun yang mengambil keputusan tersebut mungkin adalah lembaga lain seperti DPR (lembaga legislatif) atau Mahkamah Konstitusi (lembaga yudikatif).

Ini mencerminkan pemahaman yang kurang mendalam dari masyarakat mengenai pemisahan kekuasaan dalam sistem pemerintahan. Dalam teori trias politica, kekuasaan negara dibagi menjadi tiga cabang yang independen: eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Masing-masing memiliki fungsi dan tanggung jawabnya sendiri.

Namun, dalam praktiknya, batas-batas ini sering kali kabur di mata publik. Presiden, sebagai kepala eksekutif, sering kali dilihat sebagai figur tunggal yang bertanggung jawab atas semua keputusan politik dan hukum, meskipun kenyataannya jauh lebih kompleks.

Peran Oposisi dan Kepentingan Politik

Peran Oposisi dan Kepentingan Politik
Dalam sistem demokrasi, oposisi memiliki peran penting sebagai pengawas dan penyeimbang kekuasaan pemerintah yang berkuasa. Mereka bertugas untuk mengkritisi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan memastikan bahwa kebijakan tersebut dijalankan dengan adil dan sesuai dengan kepentingan publik.

Namun, selain peran pengawasan, oposisi juga memiliki kepentingan politik tersendiri, yaitu untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan. Karena itu, oposisi sering kali menggunakan berbagai isu politik untuk menekan pemerintah atau mempengaruhi opini publik demi kepentingan politik mereka sendiri.

Strategi Kritik dalam Berbagai Isu

Salah satu strategi yang sering digunakan oleh oposisi adalah dengan mengambil isu-isu sensitif atau kontroversial yang dihadapi oleh pemerintah dan menggunakannya sebagai alat untuk menyerang presiden atau kabinet yang berkuasa. Isu-isu ini bisa berupa kebijakan ekonomi, penegakan hukum, pengelolaan bencana, hingga revisi undang-undang.

Oposisi akan memanfaatkan momen ketika pemerintah terlihat lemah atau tidak populer untuk menggiring opini publik ke arah yang menguntungkan mereka.

Contoh Kasus: UU Cipta Kerja dan Penanganan Pandemi COVID-19

Kontroversi yang muncul terkait Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law) pada tahun 2020. UU ini disahkan oleh DPR dengan tujuan untuk mempermudah investasi dan memperbaiki iklim usaha di Indonesia.

Namun, sejak awal pembahasannya, UU ini sudah mendapat banyak kritik dari berbagai kalangan, termasuk dari kelompok oposisi, serikat pekerja, dan aktivis lingkungan.
Oposisi memanfaatkan ketidakpuasan publik terhadap UU Cipta Kerja untuk menyerang pemerintahan Jokowi.

Mereka mengkritik bahwa UU ini lebih menguntungkan pemodal besar daripada melindungi hak-hak buruh dan lingkungan. Protes besar-besaran terjadi di berbagai daerah, dan narasi yang dibangun adalah bahwa pemerintah, terutama Presiden Jokowi, tidak memikirkan kepentingan rakyat kecil.

Padahal, UU ini merupakan produk bersama antara DPR dan pemerintah, di mana DPR memiliki peran signifikan dalam proses pembentukannya. Contoh lain lagi adalah Penanganan Pandemi COVID-19. Di masa-masa awal pandemi, banyak pihak yang merasa bahwa respons pemerintah terhadap krisis ini tidak cukup cepat atau efektif. Oposisi memanfaatkan situasi ini untuk menyerang pemerintah dengan narasi bahwa Jokowi gagal melindungi rakyatnya.

Mereka mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah seperti PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), vaksinasi, dan bantuan sosial yang dianggap tidak tepat sasaran.
Namun, dalam kenyataannya, penanganan pandemi melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah daerah, DPR, dan bahkan masyarakat itu sendiri.

Tantangan yang dihadapi juga sangat kompleks dan tidak hanya bergantung pada keputusan presiden. Meskipun demikian, oposisi berhasil memusatkan perhatian publik pada Jokowi sebagai figur sentral yang dianggap bertanggung jawab atas segala kekurangan dalam penanganan pandemi.

Contoh yang lagi viral dan nyata saat ini adalah revisi Undang-Undang Pilkada yang sementara ini hangat dibicarakan bahkan telah menimbulkan kerusakan. Putusan ini awalnya dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan dibahas oleh DPR, yang merupakan lembaga legislatif. Meskipun presiden tidak terlibat langsung dalam pembuatan atau pembahasan undang-undang ini, oposisi tetap menyalahkan Jokowi atas hasil revisi yang dianggap kontroversial.

Mereka menyebarkan narasi bahwa pemerintahan Jokowi tidak peduli dengan demokrasi, meskipun masalah ini sebenarnya lebih terkait dengan keputusan MK dan pembahasan di DPR.Tujuan oposisi adalah untuk menurunkan citra dan popularitas presiden, sehingga publik percaya bahwa pemerintah tidak kompeten. Ini adalah strategi politik umum di mana oposisi memanfaatkan isu-isu yang kompleks untuk melemahkan legitimasi pemerintah yang berkuasa.

Efek Strategi Oposisi

Strategi oposisi yang berfokus pada menyalahkan presiden memiliki beberapa tujuan utama:

  1. Menurunkan Popularitas Presiden: Dengan terus-menerus mengkritik dan menyerang kebijakan pemerintah, oposisi berharap dapat menurunkan popularitas presiden dan pemerintahannya di mata publik. Ini bisa menjadi modal politik bagi oposisi, terutama menjelang pemilu.
  2. Menggalang Dukungan Publik: Dengan mengangkat isu-isu yang sensitif bagi masyarakat, oposisi berusaha untuk menarik simpati dan dukungan dari kelompok-kelompok tertentu, seperti buruh, mahasiswa, atau kelompok agama. Mereka berusaha menunjukkan bahwa mereka lebih peduli terhadap kepentingan rakyat daripada pemerintah yang sedang berkuasa.
  3. Melemahkan Legitimasi Pemerintah: Kritik yang berkelanjutan juga dapat digunakan untuk melemahkan legitimasi pemerintah, dengan tujuan untuk menciptakan kondisi yang memungkinkan oposisi untuk meraih kekuasaan, baik melalui pemilu maupun dengan menekan pemerintah untuk membuat konsesi.

Komunikasi dan Persepsi Publik

Selain itu, diduga komunikasi yang kurang efektif dari pemerintah juga berperan dalam pembentukan persepsi ini. Jika masyarakat tidak diberikan informasi yang jelas tentang proses pengambilan keputusan dan siapa yang bertanggung jawab, kesalahpahaman akan mudah terjadi. Ketika ada kebijakan yang tidak populer atau keputusan yang kontroversial, pemerintah perlu menjelaskan dengan tegas peran masing-masing lembaga, sehingga publik dapat memahami konteksnya dengan lebih baik.

Sayangnya, dalam situasi di mana informasi tidak selalu disampaikan secara transparan atau di mana berita hoaks dan disinformasi menyebar luas, Jokowi sering kali menjadi korban dari persepsi yang salah. Ini menciptakan siklus di mana ketidakpuasan terus meningkat, dan kritik yang tidak proporsional terus dilontarkan terhadap presiden.

Apakah Ini Adil?

Menilai apakah ketidakadilan ini adil atau tidak adalah pertanyaan yang rumit. Di satu sisi, sebagai pemimpin, Jokowi memang harus bertanggung jawab atas kondisi negara. Namun, di sisi lain, ada batasan-batasan kekuasaan yang tidak bisa diabaikan. Menyalahkan Jokowi untuk setiap masalah yang terjadi tanpa mempertimbangkan kompleksitas pemerintahan adalah pendekatan yang tidak adil.

Masyarakat perlu lebih memahami bagaimana sistem pemerintahan bekerja dan siapa yang sebenarnya bertanggung jawab atas setiap keputusan. Dengan pemahaman yang lebih baik, kritik yang dilontarkan dapat menjadi lebih konstruktif, dan fokus dapat dialihkan pada perbaikan sistemik daripada mencari kambing hitam.

Penutup

Dalam konteks politik yang penuh dengan dinamika dan intrik, Jokowi sering kali menjadi sosok yang disalahkan, bahkan untuk hal-hal yang berada di luar kendalinya.

Ini mencerminkan ketidakadilan dalam cara kita memahami dan menilai peran pemimpin dalam pemerintahan. Sebagai masyarakat, kita harus lebih kritis dan bijak dalam melihat situasi, agar kritik yang diberikan tidak hanya sekedar emosional, tetapi didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang siapa yang sebenarnya bertanggung jawab.

 

*). Wakil Ketua Umum Setya Kita Pancasila, Sekertaris PCPS GMKI Malra-Kota Tual

Komentar