JAKARTA, Kabarsulsel-indonesia.com – Pemahaman Pancasila menjadi terkesan arogan, yang menjadi bagian dari topik diskusi seri ketiga yang diselenggarakan oleh Forum Cinta Negeri yang kemudian disepakati menjadi Posko Negarawan sebagai bagian dari dinamika dalam upaya menemukan bentuk gerakan kebangkitan kesadaran dan pemahaman spiritual yang semakin matang.
Geopolitik, kata Hendrajit adalah kunci untuk menyatukan negara, seperti kebangsaan yang harus berpijak dari keterikan sejarah. Karena geopolitik itu kondisi politik yang meliputi lingkungan, sejarah (asal usul dan karakteristik) suku bangsa yang ada di dalamnya.
Matan nilai dari sosialisme dalam Pancasika itu adalah anti kolonialisme yang menjadi ciri khas dari bangsa Indonesia. Hanya dalam prakteknya,
Pancasila bagi bangsa Indonesia sangat diharap dapat diimplementasikan dalam kehidupan nyata berbangsa maupun bernegara, namun realitasnya diabaikan, atau dijerdilkan secara spiritual.
Modernisasi bagi suku bangsa Nusantara — yang kemudian bersatu menjadi Indonesia — idealnya memilih pertanian, industri, teknologi dan ilmu pengetahuan yang mengakar pada tradisi dan budaya bangsa, sehingga tidak tercerabut dari akar pijaknya yang sejati sebagai bangsa Nusantara yang menyatu dakam Negara Kesatuan Reoublik Indonesia. Sehingga makna dari Pancasila itu dapat dipahami sebagai ekspresi peradaban sekaligus filisofis bangsa.
Carut marut yang kemudian terjadi di negeri kita ini, timbal Eko Sriyanto Galgendu ia diga bermula dari hasrat penguasa yang ingin pula menjadi pengusaha. Lalu, pengusaha pun bernafas juga ingin jadi penguasa.
Masalah yang terus menerus berlanjut itu, ideologi bangsa — yaitu Pancasila — kemudian dijadikan ideologi negara. Sementara jiwa bangsa yang seharusnya ikut serta di dalamnya dilupakan.
Peringatan hari kemerdekaan bangsa Indonesia pada setiap tanggal 17 Agustus misalnya harus dipahami memiliki nilai sejarah yang sakral yang sangat spiritual. Maka itu tidak sepatutnya digradasi nilainya dengan acara dangdutan, tandas Eko Sriyanto Galgendu.
Segenap elemen yang berhimpun dalam Posko Negarawan adalah segenap individu yang sadar dan memahami jalan tengah untuk melindungi masyarakat yang terbelah. Karena itu kejujuran jiwa yang tulus dan ikhlas menjadi dasar pijak dari Posko Negarawan yang memilih posisi ditengah untuk tidak berpihak kepada siapapun sebagai penengah — atau penyeimbang — yang tidak berpihak pada sakah satu pihak, agar kenyamanan dan kedamaian dapat dinikmati oleh segenap anak bangsa Indonesia, sebagaimana amanah yang diamanahkan oleh pembukaan UUD 1945 dan Pancasila.
Hadir dalam acara diskusi seri ketiga ini diantaranya Kolonel Purn. Marinir Wiji, Setyo Wibowo, Willy Prakosa, Dharmo LMP, Padapotan Lubis dan Indra Sugandi serta Yudha Geminz yang bertindak sebagai moderator sekaligus Ketua Panitia Pelaksana.
Inti pokoknya, kata Hendrajit, Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa harus diwujudkan dalam visa dan misi yang harus dapat disosialisasikan menjadi prilaku segenap anak bangsa dalam kehidupan dan mengelola negara. Dan sebagai visi dan misi, Pancasila itu harus diurai dalam strategi nasional berbangsa dan bernegara yang bersenyawa dengan upaya membangun jiwa maupun raga manusia Indonesia dalam arti luas. Dalam sistem atas tunggal yang pernah dilakukan semasa Orde Baru berkuasa telah menjadikan negara sebagai korporasi negara dan dijadikan senjata untuk menyisihkan siapa saja yang dianggap tidak sepaham dengan pandangan negara. Akibatnya, pun membonsoi Pancasila sebagai filosofis bangsa. Dan watak bangsa — dalam konteks persatuan dipaksa seragam.
Atas dasar premis paparan Hendrajit ini, Eko Sriyanto Galgendu juga sepakat kelak pemimpin bangsa dan pemimpin negara di Indonesia akan lahir dari kalangan spiritual. Minimal, akan menjadi semacam penasehat Agung atau seperti DPA (Dewan Pertimbangan Agung) yang pernah ada pada sistem tatanan pemerintahan di Indonesia dahulu, semasa Orde Baru. Karena kejayaan politik bangsa Indonesia hanya akan dicapai bersama kepemimpinan spiritual yang berbasis nyata pada etika, moral dan akhlak mulia.
Karena hanya dengan sosok pemimpin yang memiliki dimensi spiritual, cacat cela dan perilaku buruk pengelola negara dapat diminimalisir sampai titik nol.
Dalam konsepsi Satrio Pinandito adalah pemimpin sosok yang memiliki kemampuan agama dan para begadwan yang tidak harus menjadi pemimpin negara, karena baginya masalah duniawi sudah selesai, tidak lagi ambisius, kecuali hanya ingin memuliakan Tuhan dan manusia serta menjaga alam raya seperti yang juga menjadi semacam pakem dari keyakinan Sunda Wiwitan, yaitu Tri Tangtu Tungga Buwana.
Resume diskusi dari Forum Cinta Negeri yang dibesut Yudha Geminz bersama Indra Sugandi yang disepakati untuk ditingkatkan menjadi Posko Negarawan ini meyakinkan sosok atau model kepemimpinan yang berbasis spiritual adalah yang mampu membumikan Pancasila dan Amanah dari Periabule UUD 1945 di negeri tercinta ini.
Jakarta, 19 Oktober 2022
Komentar