Kekurangan Volume Proyek Jalan Kaimana: PT. ACP Diduga Rugikan Negara hingga Rp2,2 Miliar

Kaimana, Kabarsulsel-Indonesia.com | Proyek strategis pembangunan Jalan Kaimana-Sisir-Werua-Lobo-Triton, yang bernilai kontrak Rp48,29 miliar, kini menuai sorotan tajam. Pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bersama tim pengawas proyek pada 27 Juni 2024 menemukan kekurangan volume pekerjaan senilai Rp2,2 miliar.

Temuan ini memunculkan dugaan kelalaian atau bahkan kesengajaan pihak penyedia, PT. ACP, yang berpotensi merugikan negara.

Ketidaksesuaian Data dan Realisasi Pekerjaan

Dari hasil pemeriksaan, sejumlah pekerjaan seperti galian selokan drainase, timbunan pilihan, dan penyiapan badan jalan tidak sesuai dengan volume yang tertera dalam kontrak.

Contohnya, pekerjaan galian drainase hanya terealisasi 1.120,35 m³ dari 11.400 m³ yang tercantum, dengan selisih senilai Rp641 juta. Kekurangan terbesar terletak pada timbunan pilihan, yang selisihnya mencapai Rp1,51 miliar.

Meskipun proyek ini dinyatakan selesai dan telah dibayarkan 100% melalui tiga tahap pembayaran, fakta kekurangan volume tersebut baru diketahui setelah dilakukan uji petik oleh BPK. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar tentang kredibilitas laporan penyelesaian pekerjaan yang diajukan oleh PT. ACP.

Dugaan Pelanggaran Hukum

Dalam konteks hukum, kekurangan volume pekerjaan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran serius. Sesuai Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tindakan ini dapat dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang dan manipulasi laporan proyek yang merugikan keuangan negara.

Ancaman hukuman berupa pidana penjara hingga 20 tahun serta denda maksimal Rp1 miliar dapat dikenakan apabila terbukti adanya unsur kesengajaan atau niat untuk menguntungkan diri sendiri atau pihak lain.

Selain itu, Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mengatur sanksi administratif seperti denda, blacklist, hingga pencabutan izin usaha bagi penyedia yang terbukti tidak memenuhi kewajibannya sesuai kontrak.

Peran Pemerintah dan Lemahnya Pengawasan

Kejadian ini juga mencerminkan lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah daerah dan konsultan pengawas. Fakta bahwa proyek dinyatakan selesai melalui Berita Acara Serah Terima (BAST) pada 18 April 2024, meskipun terdapat kekurangan volume signifikan, menunjukkan adanya celah dalam sistem monitoring dan evaluasi.

PPK (Pejabat Pembuat Komitmen) yang bertanggung jawab atas proyek ini patut dipertanyakan kompetensinya dalam memastikan pekerjaan sesuai kontrak. Kelemahan dalam pengawasan ini membuka peluang bagi penyedia seperti PT. ACP untuk menyiasati laporan tanpa risiko langsung.

Komitmen Pengembalian Kerugian Negara

Setelah pembahasan bersama antara BPK, PPK, dan PT. ACP, pihak penyedia menyatakan kesediaannya untuk menyetor kerugian negara senilai Rp2,2 miliar ke kas daerah.

Meskipun langkah ini diapresiasi, tidak cukup hanya berhenti pada pengembalian dana. Investigasi menyeluruh diperlukan untuk memastikan tidak ada pelanggaran hukum yang ditutup-tutupi.

Dampak Lebih Luas

Kasus ini tidak hanya berimplikasi pada kerugian negara, tetapi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan proyek infrastruktur yang seharusnya menjadi prioritas pembangunan.

Jika dibiarkan tanpa tindakan tegas, kejadian serupa dapat terus berulang, menghambat pembangunan daerah, dan menciptakan preseden buruk bagi proyek-proyek pemerintah lainnya.

Seruan Transparansi dan Akuntabilitas

Pemerintah daerah bersama aparat penegak hukum perlu mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan kasus ini. Transparansi dalam proses investigasi sangat diperlukan, termasuk kemungkinan pengungkapan dugaan keterlibatan pihak-pihak lain dalam proses pengadaan hingga pengawasan.

Masyarakat berhak mengetahui kebenaran dan memastikan bahwa proyek-proyek infrastruktur yang dibiayai oleh uang rakyat dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Jika pelanggaran ini tidak ditindak secara serius, kepercayaan publik terhadap pemerintah dan sistem pengawasan akan semakin terkikis.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa integritas dalam pengadaan barang/jasa pemerintah bukan hanya sekadar komitmen, melainkan keharusan yang harus ditegakkan untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Komentar