Oleh: Yuliet D.M. Putnarubun, S.Pi., M.Si
(Ketua Kelompok Masyarakat Cinta Lingkungan – Malra)
Kabarsulsel-Indonesia.com | Opini – Pulau Kei Besar, salah satu permata ekologis di Maluku Tenggara, kini menghadapi ancaman serius.
Dalam beberapa bulan terakhir, aktivitas pembukaan lahan dan pengerukan tanah dalam skala besar terjadi di sejumlah wilayah, seperti Desa Ohoiwait, Desa Nerong dan Desa Mataholat.
Kegiatan ini dilakukan dengan dalih pembangunan infrastruktur. Namun, yang kita lihat di lapangan adalah kerusakan lingkungan yang mengkhawatirkan dan penolakan masyarakat yang diabaikan.
Pengerukan besar-besaran ini dilakukan tanpa keterlibatan penuh masyarakat adat, tanpa keterbukaan informasi publik, dan tanpa dokumen AMDAL yang dapat diverifikasi secara transparan.
Di sisi lain, masyarakat lokal justru menjadi saksi utama atas banjir dan tanah longsor yang terjadi dua hari lalu—bencana yang sangat mungkin dipicu oleh kerusakan ekosistem akibat proyek-proyek tersebut.
Kita tentu tidak menolak pembangunan. Yang kita tentang adalah pembangunan yang tidak adil, eksploitatif, dan mengabaikan keseimbangan alam serta kearifan lokal. Pembangunan yang berjalan tanpa persetujuan rakyat bukanlah kemajuan, melainkan kolonialisme berganti rupa.
Pulau Kei Besar bukanlah ladang tambang raksasa yang bisa dikeruk seenaknya. Ia adalah rumah bagi ribuan warga, tempat lahirnya budaya dan spiritualitas orang Kei, serta wilayah penting bagi keberlanjutan lingkungan hidup di wilayah timur Indonesia.
Kami menyerukan kepada pemerintah daerah, dinas lingkungan hidup, dan seluruh pemangku kebijakan: hentikan segera segala bentuk pengerukan dan pembukaan lahan yang tidak berpihak pada kelestarian dan keadilan ekologis.
Lakukan audit independen, buka ruang dialog terbuka dengan masyarakat, dan wujudkan pembangunan yang sungguh-sungguh berorientasi pada keberlanjutan.
Biarlah Kei Besar tetap menjadi rumah, bukan menjadi reruntuhan dari keserakahan.
Komentar