Jeritan Anak Maluku: “Tolong Kami… Selamatkan Masa Depan Kami” AKP Melda Haurissa, S.AP

Ambon,Kabarsulsel-lndonesia.com. Suara anak-anak Maluku hari ini bukan lagi hanya sekadar tangis kecil di sudut-sudut rumah atau jeritan tanpa arah di tengah hiruk pikuk kehidupan. Suara itu kini menjadi seruan lantang, menyayat nurani siapa pun yang mendengarnya:

“Tolong kami… selamatkan masa depan kami.”

Seruan ini muncul bukan tanpa alasan. Dalam beberapa tahun terakhir, Maluku menghadapi kenyataan pahit: meningkatnya angka kekerasan terhadap anak, baik secara fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran. Kasus demi kasus mencuat ke permukaan, mengguncang rasa kemanusiaan dan menuntut perhatian serius dari seluruh elemen masyarakat.

Banyak anak di Maluku tumbuh dalam lingkungan yang seharusnya memberi cinta, namun justru menyisakan luka. Luka itu tak selalu terlihat—kadang tersembunyi dalam diam, trauma, atau hilangnya keceriaan yang seharusnya menjadi warna masa kecil.

Kekerasan terhadap anak bukan sekadar data statistik. Ia adalah nasib yang hancur, asa yang terampas, dan masa depan yang terancam.

Ketika seorang anak Maluku berkata, “Beta takut pulang…” atau “Jangan kase tinggal beta…”, itu adalah teriakan yang seharusnya menggugah kita semua. Anak-anak adalah pewaris tanah ini, pewaris rempah dan budaya yang kaya. Namun bagaimana mereka dapat menjadi generasi penerus jika hari ini mereka hidup dalam ketakutan?

Melindungi anak bukan hanya tugas orang tua. Itu juga tanggung jawab negara, pemerintah daerah, aparat penegak hukum, lembaga sosial, tokoh agama, tokoh adat, media, hingga masyarakat umum. Karena ketika kekerasan terjadi, yang tercoreng bukan hanya keluarga, tetapi juga wajah Maluku.

Pemerintah dan aparat kepolisian telah bergerak melakukan penegakan hukum dan memperkuat sistem perlindungan anak. Namun upaya itu tidak akan sepenuhnya berhasil jika masyarakat memilih diam. “Diam” adalah bentuk kekerasan baru terhadap keselamatan anak.

Bayangkan jika anak-anak Maluku memiliki panggung untuk berbicara.

Apa yang akan mereka katakan?

Mungkin mereka akan berkata:

“Kami cuma mau rasa aman.”

“Kami mau sekolah, bukan dipukul.”

“Kami mau bermain, bukan dieksploitasi.”

“Kami mau orang dewasa lindungi kami.”

“Tolong kami… masa depan kami ada di tangan kalian.”

Seruan ini tidak boleh sekadar lewat di telinga. Ia harus menggugah kebijakan, mengubah perilaku, dan menggerakkan hati.

Jika Maluku ingin tumbuh sebagai daerah yang damai, maju, dan penuh harapan, maka pondasinya harus dimulai dari anak-anak hari ini. Tidak ada pembangunan yang lebih mulia daripada memastikan setiap anak hidup aman, sehat, bahagia, dan terlindungi.

Setiap kekerasan yang terjadi adalah alarm keras bahwa kita sedang gagal. Namun setiap anak yang terselamatkan adalah bukti bahwa masa depan Maluku masih terang.

Ini bukan sekadar artikel. Ini adalah jeritan hati yang mewakili ribuan anak di Maluku yang belum mampu bersuara. “Tolong Kami… Selamatkan Masa Depan Kami.”

Dengarkan mereka.

Lindungi mereka.

Berdirilah bersama mereka.

Karena masa depan Maluku bukan milik kita, masa depan itu adalah milik mereka.Dan mereka memohon kepada kita hari ini.

(M.N)

Komentar