Harapan yang Terpendam di Pasar Fakfak: Ketika Jeritan Pedagang Menggema di Rumah Perubahan

Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | 19 September 2024 – Matahari baru saja tergelincir dari puncaknya, menyisakan hangat yang masih melekat di dinding-dinding rumah kayu di sepanjang Jl. Imam Bonjol, Kelurahan Wagom, Distrik Pariwari.

Di balik rumah perubahan yang menjadi Sekretariat Bakal Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Fakfak, Samaun Dahlan dan Donatus Nimbitkendik, suasana yang semula tenang berubah menjadi riuh penuh haru.

Puluhan pedagang kecil dari Pasar Kelapa Dua dan Pasar Tanjung Wagom berdatangan tanpa aba-aba, memecah keheningan dengan langkah-langkah mereka yang penuh harap.

Kedatangan mereka yang mendadak membuat tim pemenangan dan bahkan Samaun Dahlan, yang kala itu tengah berbincang dengan warga, terhenyak sejenak.

Kehadiran para pedagang ini bagai angin sepoi yang tiba-tiba berubah menjadi badai kecil di siang bolong.

Di antara barisan pedagang yang sebagian besar adalah perempuan itu, Lusia Nauw muncul sebagai penutur luka dan harapan. Perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga sejak kepergian suaminya ini, menyuarakan kegetiran hidup yang tak lagi bisa ia pendam.

Suaranya bergetar, namun penuh keteguhan, saat mengurai kisah tentang pasar yang dulu menjadi sumber kebahagiaan, kini seolah menjelma menjadi tempat yang sarat beban.

“Zaman Bapak Wahidin Puarada dan Bapak Mohamad Uswanas, pasar itu hidup. Damai dan penuh sukacita, bukan seperti sekarang yang hanya damai setengah mati,” ujarnya, menegaskan betapa situasi telah berubah drastis.

Kata-katanya memecah keheningan, menggema di ruangan yang tiba-tiba terasa begitu sesak oleh kesedihan dan harapan yang tak terucap.

Mata Lusia berkaca-kaca saat ia menceritakan bagaimana dahulu hasil jualan sayurnya mampu menghidupi keluarganya, bahkan menyekolahkan kedua anaknya yang kini tengah berjuang menuntut ilmu di Jayapura dan Jawa.

“Dulu kami bawa ketimun satu karung, dua karung, pulang bawa uang. Sekarang, lima puluh ribu saja sudah syukur. Kami harus pecah uang itu untuk biaya dua anak kuliah,” tuturnya lirih, seakan lelah oleh kenyataan yang begitu keras menghimpit.

Kondisi ini, bagi Lusia, bukan sekadar masalah ekonomi. Ini tentang masa depan anak-anaknya, tentang cita-cita yang ingin ia wujudkan meski harus meretas jalan penuh liku.

“Kami ingin perubahan. Kami ingin ada pemimpin yang benar-benar peduli dengan kami, para pedagang kecil,” lanjutnya, suaranya semakin tegas meski air mata masih menggantung di pelupuk matanya.

Kisah Lusia, yang berjuang sendirian di tengah badai kehidupan, menyentuh nurani Samaun Dahlan. Dengan mata yang juga berkaca-kaca, ia meresapi setiap kata yang diucapkan Lusia.

“Luar biasa, saya salut dengan mama. Di tengah kesulitan, masih bisa berjuang untuk masa depan anak-anak. Ini sungguh luar biasa,” ucapnya dengan suara penuh penghargaan.

Samaun berjanji akan membawa perubahan yang nyata, perubahan yang bisa dirasakan oleh seluruh masyarakat Fakfak, terutama para pedagang kecil yang menjadi urat nadi perekonomian lokal.

Lusia adalah potret dari banyak perempuan Fakfak lainnya. Perempuan-perempuan yang tak kenal lelah berjuang di tengah himpitan ekonomi, perempuan yang dengan gigih menyemai harapan di setiap lembar uang yang mereka peroleh.

Mereka adalah ibu, istri, dan tulang punggung keluarga, yang tak pernah berhenti berharap pada perubahan yang lebih baik.

Pada sore yang penuh makna itu, di Rumah Perubahan, harapan yang sempat terpendam kini berani disuarakan. Dan bagi Lusia, seperti halnya bagi banyak perempuan lain di Fakfak, perjuangan adalah tentang terus melangkah, meski langkah itu terasa berat.

Karena bagi mereka, perubahan bukan sekadar janji, tetapi harapan yang ingin mereka genggam, meski dengan tangan yang bergetar.

Komentar