Maluku Tenggara, Kabarsulsel-Indonesia.com | Ketua Badan Pengurus Cabang Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (BPC GMKI) Tual, Kristo Omaratan, secara tegas menyuarakan kritik keras terhadap Pemerintah Provinsi Maluku yang dinilai abai dan tidak bertanggung jawab atas polemik lingkungan yang muncul akibat aktivitas pertambangan Galian C oleh PT. Batulicin Beton Asphalt (PT. BBA) di Pulau Kei Besar, tepatnya di Ohoi Nerong, Kecamatan Kei Besar Selatan.
Menurut Kristo, keresahan masyarakat bukan muncul dari konflik lahan atau pelanggaran adat, melainkan dari ketertutupan informasi dan ketidakterlibatan publik dalam proses sosialisasi hingga penerbitan dokumen AMDAL oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Maluku.
“Ini jelas bentuk pembiaran yang disengaja. Pemerintah provinsi seperti mau cuci tangan, seolah-olah tak tahu menahu soal proses perizinan yang sebenarnya sangat berdampak pada masyarakat,” tegasnya.
Lebih lanjut, Kristo mendesak DPRD Provinsi Maluku segera memanggil Dinas Lingkungan Hidup guna dimintai pertanggungjawaban sesuai amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup.
Namun, di tengah polemik ini, Kristo menegaskan bahwa masyarakat adat Ohoi Nerong sebagai pemilik petuanan telah memberikan izin resmi melalui sistem kontrak, dan tidak ada konflik sosial terkait hak atas tanah.
“Kita harus jujur bahwa tambang ini telah memberikan kontribusi ekonomi, membuka lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan warga sekitar. Jangan hadir sebagai pahlawan dadakan untuk membela masyarakat Ohoi Nerong, padahal justru memutus rantai penghidupan mereka,” ujarnya tajam.
Kristo juga mengingatkan bahwa Perda Kabupaten Maluku Tenggara Nomor 03 Tahun 2009 telah menegaskan bahwa wilayah petuanan adat memiliki kekuatan hukum yang diakui negara. Maka, sikap aktivis yang menggiring opini publik seolah terjadi perampasan hak masyarakat adalah narasi menyesatkan dan kontraproduktif.
Di tengah lesunya ekonomi daerah akibat efisiensi anggaran dan lonjakan harga bahan pokok, aktivitas ekonomi seperti tambang yang sah dan didukung masyarakat adat semestinya didorong, bukan dihantam dengan isu-isu sepihak yang memprovokasi.
“Pertanyaannya sekarang, apakah mereka yang menolak tambang ini punya solusi nyata untuk pekerja tambang dan keluarga mereka? Atau hanya datang dengan suara keras tanpa arah?” kritik Kristo.
GMKI Tual mengimbau agar masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh narasi eksploitasi alam yang tidak didasarkan pada data dan proses hukum yang benar. Sebaliknya, masyarakat diajak untuk lebih fokus pada isu-isu strategis daerah, seperti kemiskinan, korupsi, dan minimnya pelayanan publik yang nyata merugikan rakyat.
“Kita butuh solusi, bukan sensasi. Jangan biarkan rakyat jadi korban atas nama aktivisme yang tak berpijak pada realitas,” tutup Kristo Omaratan dengan nada tajam.









Komentar