Gereja sebagai Ruang Sunyi yang Menjerit: Gagasan Bergereja yang Kontemplatif dan Responsif dalam Krisis Zaman

OPINI557 views

Oleh : Pdt. Sammy Sahulata

Opini, Kabarsulsel-Indonesia.com | Di tengah arus zaman yang penuh kegelisahan, mulai dari krisis ekologis, kemiskinan struktural, dekadensi moral, hingga kehampaan spiritual, gereja menghadapi pertanyaan paling mendasar, masih relevankah kita? Dalam wajah dunia yang remuk, gereja tidak dapat tinggal sebagai penonton yang membisu atau institusi yang sibuk mempertahankan keutuhannya sendiri.

Gereja dipanggil untuk menjadi partisipan dalam luka dunia, bahkan lebih dari itu menjadi ruang sunyi yang menjerit.
Apa artinya menjadi “ruang sunyi yang menjerit”? Inilah gambaran paradoksal dari sebuah spiritualitas yang berakar dalam keheningan, tetapi tidak kehilangan keberanian untuk bersuara.

Gereja tidak cukup hanya bersuara lantang; ia perlu lebih dulu mendengar, merenung, dan menghayati luka zaman dengan hati yang terbuka. Maka muncullah satu gagasan arah baru bergereja : Gereja sebagai ruang kontemplatif yang profetik dan transformasional.

Ruang Kontemplatif: Keheningan yang Jujur

Di tengah hiruk-pikuk dunia, gereja harus menjadi tempat di mana umat belajar diam. Bukan diam yang pasif, melainkan diam yang penuh keberanian untuk mengakui ketidakberdayaan, kegagalan, dan luka.

Dalam ruang kontemplatif ini, umat tidak didorong untuk segera “melayani” dunia, tetapi pertama-tama untuk mendengarkan dunia dan mendengarkan Tuhan yang hadir tidak dalam gemuruh, melainkan dalam bisikan lembut kejujuran.

Spiritualitas semacam ini menolak kemunafikan religius yang sibuk memoles tampilan luar. Ia mengajak setiap orang percaya untuk memeluk luka sebagai bagian dari proses iman yang otentik. Sebab justru dari luka yang dihayati dan diterima, hadir pemahaman baru tentang kasih karunia yang bekerja dalam kerapuhan manusia.

Ruang Profetik: Suara dari Solidaritas yang Menderita

Namun keheningan itu tidak berhenti pada kesalehan pribadi. Ia bermuara pada keberanian untuk bersuara. Gereja yang kontemplatif akan menemukan suaranya dalam seruan profetik yakni panggilan untuk membongkar ketimpangan, melawan ketidakadilan, dan menyuarakan harapan bagi yang tertindas. Tetapi suara gereja bukan berasal dari moralitas yang arogan, melainkan dari solidaritas yang menderita bersama mereka yang dilupakan.

Kesaksian gereja hari ini ditantang untuk melepaskan ambisi hegemonik dan menggantinya dengan pelayanan yang membebaskan. Liturgi, pengajaran, dan seluruh praktik gerejawi harus berakar pada keberpihakan nyata kepada kehidupan, pada keadilan ekologis, ekonomi yang manusiawi, dan spiritualitas yang membebaskan dari ketakutan.

Ruang Transformasional: Sekolah Kesadaran Eksistensial

Gereja juga harus menjadi ruang di mana umat dilatih untuk menjadi manusia yang sadar, sadar akan kehadiran Allah, terhadap sesama, dan terhadap tanggung jawab etis dalam sejarah. Gereja bukan sekadar tempat ibadah ritus, melainkan sekolah pembentukan kesadaran, di mana setiap orang didorong untuk bertumbuh dalam spiritualitas yang dialogis dengan realitas kehidupan.

Transformasi itu tidak lahir dari dogma semata, tetapi dari pengalaman yang dihayati bersama. Gereja menjadi tempat di mana iman diproses dalam percakapan, dalam pelayanan, dalam pertobatan sosial yang terus-menerus. Inilah panggilan gereja sebagai komunitas yang hidup, yang mendidik bukan hanya pikiran, tetapi seluruh keberadaan manusia.

Penutup : Tubuh yang Bersedia Retak demi Kasih

Ketika gereja berani menempuh jalan ini, ia tidak lagi menjadi menara gading, atau sekedar institusi keagamaan yang sibuk melayani dirinya sendiri. Ia menjadi tubuh yang hidup, tubuh yang bersedia retak, bersedia menangis, bersedia hancur oleh penderitaan dunia demi kasih yang lebih besar.

Gereja yang seperti ini adalah gereja yang “menjerit” dari ruang sunyinya. Ia menangis bersama dunia, namun tetap teguh dalam harapan. Ia tidak melarikan diri dari kenyataan, tetapi membawanya ke altar, ke liturgi, ke ruang refleksi, dan ke ruang aksi.

Di dalamnya, kita menemukan arah baru, gereja yang hadir bukan untuk memenemukan arah baru, gereja yang hadir bukan untuk menguasai, melainkan untuk mengasihi. Gereja yang tidak takut terluka, karena tahu bahwa dari luka-luka itulah kasih sejati mengalir. Shaloom!

Saily

Komentar