FITNAH BUKAN KRITIK, SENSASI BUKAN ILMU

OPINI210 views

Oleh: Bruri Tumiwa

(Wakil Ketua Umum DPP Setya Kita Pancasila)

Kabarsulsel-Indonesia.com | OPINI – Isu seputar keaslian ijazah Mantan Presiden Joko Widodo kembali diangkat ke ruang publik oleh Roy Suryo dan sejumlah pihak yang mengaku sebagai akademisi. Padahal, Bareskrim Polri telah memastikan bahwa dokumen tersebut asli dan identik dengan ijazah rekan-rekan seangkatan Presiden di Universitas Gadjah Mada (UGM). Lembaga akademik terkemuka tersebut pun telah memberikan klarifikasi resmi yang menegaskan bahwa Joko Widodo memang lulusan sah Fakultas Kehutanan.

Namun yang mengherankan, narasi kecurigaan masih terus digulirkan, bahkan dengan nada seolah negara telah gagal menjaga transparansi akademik. Yang menjadi soal bukan sekadar substansi tuduhan, melainkan cara menyampaikannya—yang tidak mengindahkan etika ilmiah dan norma hukum.

Alih-alih menggunakan ruang akademik dan prosedur ilmiah untuk mengklarifikasi dugaan, pihak-pihak tersebut lebih memilih tampil di kanal media sosial dan YouTube, menyebarkan opini yang bersifat insinuatif, bahkan provokatif. Dalam salah satu pernyataannya, Roy Suryo menyebut bahwa ijazah “identik belum tentu otentik”. Pernyataan ini membingungkan publik dan tidak berangkat dari argumentasi metodologis yang sahih. Padahal dalam ilmu forensik, istilah “identik” digunakan justru untuk menegaskan kesamaan otentik suatu dokumen dari aspek isi, format, dan fisik.

Lebih jauh lagi, Roy Suryo Cs merasa dibungkam ketika Mantan Presiden Joko Widodo, sebagai warga negara yang dilindungi hukum, menempuh langkah konstitusional melalui laporan ke Bareskrim. Bahkan mereka menyatakan akan membawa persoalan ini ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ini bukan hanya sikap yang berlebihan, tetapi juga menimbulkan kesan bahwa Indonesia tidak memiliki sistem hukum yang kredibel—sebuah kesimpulan yang berpotensi merusak citra negara di mata dunia.

Kebebasan berekspresi memang merupakan hak fundamental, sebagaimana dijamin oleh konstitusi. Namun, kebebasan tersebut bukan tanpa batas. UUD 1945 melalui Pasal 28J mengingatkan bahwa dalam menggunakan kebebasannya, setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dan tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang.

Menyampaikan kritik kepada pemimpin negara adalah hak setiap warga. Tetapi kritik mesti berbasis pada data, fakta, dan niat baik membangun, bukan berupa tuduhan yang tidak dapat dibuktikan, apalagi ditayangkan berulang-ulang tanpa ada penyelesaian hukum. Jika ini dibiarkan, maka bukan demokrasi yang kita pelihara, melainkan ruang bebas fitnah yang merusak kepercayaan terhadap lembaga negara, mulai dari perguruan tinggi, aparat penegak hukum, hingga simbol kepemimpinan nasional.

Tentu masyarakat berhak mengawasi penyelenggaraan kekuasaan negara. Namun pengawasan itu mesti dilakukan dengan niat menjaga martabat bangsa, bukan membongkar-bongkar kredibilitas negara demi kepentingan pribadi atau kelompok. Jika semua hasil resmi institusi negara terus-menerus diragukan tanpa dasar, maka yang kita lakukan bukanlah menjaga demokrasi, tetapi menggali kuburannya sendiri.

Bapak Mantan Presiden Joko Widodo berhak untuk menempuh jalur hukum sebagai bentuk pembelaan diri. Dan proses ini harus dihormati sebagai mekanisme yang sah dalam penyelesaian sengketa. Pihak-pihak yang dilaporkan pun memiliki hak yang sama untuk membela diri. Tetapi semuanya harus dilakukan dalam kerangka hukum, bukan di panggung sensasi media.

Sudah saatnya kita kembali membedakan antara kritik dan fitnah, antara ilmu dan opini sembrono. Jika ada yang ingin membantah keabsahan dokumen akademik Presiden, maka tempatnya bukan di media sosial, tetapi di ruang sidang, melalui pembuktian hukum yang adil dan terbuka.

Bangsa ini dibangun di atas dasar hukum, akal sehat, dan kepercayaan terhadap lembaga. Jangan biarkan ketiganya dikorbankan demi ego personal yang dibalut dalih kebebasan berpendapat.

Komentar