Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Upaya meningkatkan mutu dan produktivitas komoditas unggulan Fakfak, yakni pala Tomandin, menjadi salah satu agenda penting yang dibahas dalam Rapat Koordinasi Teknis (Rakornis) yang digelar oleh Dinas Perkebunan Fakfak pada Kamis (26/09) di Aula Kantor Disbun Fakfak.
Rakornis yang mengusung tema “Sinergitas, Konsistensi, dan Keselarasan Dinas Teknis, Asosiasi, dan Stakeholder Terkait dalam Mendorong Pala Tomandin Fakfak Menuju Ekspor” dihadiri oleh asisten III Setda Fakfak, termasuk Plt. Kepala Dinas Perkebunan Fakfak, Widhi Asmoro Jati, S.T., M.T. serta para petani pala.
Dalam paparannya, Widhi menyoroti 10 tantangan mutu dan kwalitas pala tomandin menuju pasar ekspor yang saat ini masih dihadapi oleh para pekebun dan pelaku bisnis pala di Fakfak, mulai dari usia tanaman pala yang sudah tua hingga minimnya penggunaan teknologi modern dalam proses budidaya dan pascapanen.
“Banyak tanaman pala di Fakfak yang sudah tua dan tidak produktif, sementara pola tanam yang diterapkan belum memenuhi standar jarak tanam yang optimal,” ujar Widhi.
Selain itu, penggunaan bibit unggul juga masih jarang diterapkan oleh para pekebun, yang turut berkontribusi terhadap rendahnya hasil produksi.
Tidak hanya itu, pemeliharaan tanaman yang masih minim dan belum diterimanya intensifikasi seperti penggunaan pupuk organik dan pengendalian hama penyakit turut menghambat peningkatan produktivitas.
Tantangan Budidaya dan Pascapanen
Produktivitas pala Fakfak juga terganggu oleh praktik panen yang belum optimal, di mana sebagian besar pekebun masih memanen pala sebelum waktunya. Ditambah lagi, budaya lokal seperti Sasi seringkali dilanggar, yang menyebabkan ketidakstabilan dalam produksi dan penjualan.
“Harga pala cenderung fluktuatif dan sangat bergantung pada pasar di Surabaya. Kondisi ini mempengaruhi pendapatan pekebun, apalagi karena pala mentah masih dijual dalam hitungan biji, bukan per kilogram,” jelas Widhi.
Kondisi pascapanen juga tidak luput dari sorotan. Masih banyak pekebun yang menggunakan sistem pengeringan tradisional yang menyebabkan tingginya kandungan aflatoksin, yang berdampak negatif pada kualitas pala saat diekspor.
“Kita harus mulai menggunakan teknologi pengeringan modern seperti solar dryer untuk memastikan kualitas pala sesuai standar ekspor,” tambahnya.
Keterbatasan Sarana dan Prasarana
Rakornis juga mengungkapkan adanya keterbatasan sarana dan prasarana dalam mendukung peningkatan mutu pala, termasuk minimnya bantuan untuk alat pengeringan, rumah jaga kebun, hingga laboratorium untuk uji kadar mutu pala.
Dukungan anggaran yang belum maksimal, meskipun pala telah ditetapkan sebagai komoditas unggulan daerah, juga menjadi tantangan tersendiri.
“Saat ini, permintaan dari pekebun untuk dukungan sarana dan prasarana jauh melebihi anggaran yang tersedia. Kita perlu dukungan yang lebih kuat dari semua pihak,” kata Widhi.
Regulasi dan Dukungan Perbankan
Dalam sesi diskusi, peserta Rakornis juga membahas pentingnya regulasi yang mendukung pengelolaan dan pemasaran pala, termasuk perlunya sanksi adat yang lebih tegas untuk mencegah panen pala sebelum waktunya.
Widhi juga menekankan pentingnya pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) khusus pala Tomandin guna memastikan kestabilan harga dan dukungan pembiayaan yang lebih kuat dari perbankan, yang saat ini masih belum sepenuhnya mendukung para pelaku bisnis pala.
Kolaborasi Menuju Pasar Ekspor
Untuk mencapai target ekspor, kolaborasi lintas sektor sangat dibutuhkan. Namun, saat ini, kolaborasi antara pelaku bisnis, pemerintah, dan instansi terkait masih dinilai belum maksimal.
Dukungan untuk perizinan produk UMKM dan pengembangan hilirisasi juga masih terbatas, terutama dalam hal pengemasan produk yang higienis dan memiliki sertifikasi halal.
Dengan berbagai tantangan tersebut, Rakornis ini diharapkan mampu menjadi titik awal untuk mendorong sinergi antara semua pihak guna memaksimalkan potensi pala Tomandin Fakfak menuju pasar ekspor, sekaligus meningkatkan kesejahteraan para pekebun dan pelaku usaha di daerah ini.
Komentar