Tiakur, Kabarsulselindonesia.com | Netralitas dan keadilan dalam pelayanan gereja seharusnya menjadi prinsip utama dalam menjaga harmoni antar pelayan dan jemaat.
Namun, situasi yang terjadi di Jemaat Tounwawan, Klasis Leti Moa Lakor (LEMOLA), justru memperlihatkan dugaan adanya konspirasi sepihak yang mencederai nilai-nilai tersebut.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, dugaan rekayasa muncul dari tindakan Ketua Majelis Jemaat (KMJ) Tounwawan, berinisial BG, yang diduga merancang upaya penyingkiran terhadap Pendeta Jemaat Tounwawan Sektor Weet.
Padahal, persoalan awal hanya merupakan kesalahpahaman internal antara pendeta dengan salah satu tuagama dan telah diselesaikan secara internal pada 1 Januari 2025 di hadapan mantan Wakil KMJ berinisial FK serta majelis setempat.
Ironisnya, setelah persoalan dianggap selesai, BG bersama mantan Wakil KMJ (FK) dan seorang anggota jemaat yang kini telah menjadi majelis, menggelar pertemuan tertutup sambil mengonsumsi minuman keras jenis sopi.
Pertemuan tersebut diduga menjadi momen penyusunan skenario untuk melemahkan posisi pendeta secara diam-diam.
Tidak hanya sampai di situ, meski telah diselesaikan di tingkat jemaat, persoalan ini kemudian dilaporkan secara sepihak oleh FK ke Klasis LEMOLA.
Pendeta lantas dipanggil ke kantor Klasis dan ditegur oleh Sekretaris Klasis terkait tindakan tersebut. Namun anehnya, masalah ini kembali digulirkan ke Majelis Pekerja Harian (MPH) Sinode menjelang rencana pemekaran sektor menjadi Jemaat Weet.
Puncaknya, Ketua dan Sekretaris Klasis menyampaikan bahwa pendeta tidak lagi layak menjabat sebagai Ketua Majelis Jemaat, dengan dalih adanya desakan jemaat dan potensi pindahnya umat ke gereja lain.
Klaim ini pun dinilai janggal karena faktanya, perpindahan jemaat ke gereja lain telah terjadi sebelum pendeta ditugaskan ke Tounwawan pada 15 Agustus 2024.
Lebih ironis lagi, alasan tambahan yang dikemukakan Ketua Klasis, yakni bahwa usia tugas pendeta masih terlalu muda, juga terbantahkan dengan bukti bahwa yang bersangkutan telah diangkat menjadi Ketua Majelis Jemaat GPM Kuay Melu sejak 2021 berdasarkan SK MPH Sinode.
Merujuk pada Peraturan Organik GPM, sanksi terhadap pendeta hanya dapat dijatuhkan jika terjadi pelanggaran berat seperti perselingkuhan, korupsi, atau kasus lain yang tidak bisa diselesaikan di level jemaat dan klasis.
Namun dalam kasus ini, tampak jelas bahwa tindakan sepihak yang dilakukan tanpa prosedur yang adil justru berpotensi mencoreng nama baik gereja itu sendiri.
Pihak Sinode dan Klasis diharapkan tidak gegabah dalam mengambil keputusan, apalagi bila hanya berdasarkan laporan sepihak. Semua pihak yang terlibat, baik pendeta maupun KMJ, harus diberi ruang klarifikasi secara adil agar kebenaran bisa terungkap secara objektif.
“Pelayanan gereja harusnya berfokus pada pertumbuhan iman jemaat, bukan pada kepentingan pribadi atau kelompok tertentu,” ujar sumber terpercaya.
Ia juga menambahkan bahwa MPH Sinode harus mempertimbangkan keputusan berdasarkan kepentingan umat, bukan tekanan atau manuver kekuasaan dari dalam jemaat.
Gereja sebagai institusi rohani harus menjunjung tinggi transparansi, dialog terbuka, dan integritas dalam setiap langkahnya. (*)
Komentar