Di Senayan, Gubernur Maluku Perjuangkan Keadilan Tata Ruang : Kritik Sentralisme Kewenangan Laut

Ambon,Kabarsulsel-lndonesia.com. JAKARTA – Gubernur Maluku, Hendrik Lewerissa tampil lantang di hadapan para senator, kementerian, dan wakil-wakil daerah se-Indonesia dalam forum Deseminasi BLUD DPD RI, terkait Rekomendasi Hasil Keputusan DPD RI atas Pemantauan dan Evaluasi Ranperda dan Perda tentang Implementasi UU Cipta Kerja dalam Kebijakan Tata Ruang Wilayah, yang digelar di Gedung Nusantara V, Komplek Parlemen Senayan, Senin (14/7/2025).

Di ruang yang penuh wibawa itu, Gubernur tak sekadar hadir mewakili Maluku, melainkan membawa suara hati daerah kepulauan yang selama ini menunggu ruang untuk didengar.

Dipimpin Ketua BULD DPD RI, Stefanus Ban Liow, kegiatan ini juga dihadiri perwakilan dari berbagai kementerian/lembaga dan asosiasi pemerintah provinsi serta kabupaten/kota. Namun, suara Gubernur Maluku menjadi sorotan utama karena menyentuh akar masalah yang selama ini dirasakan banyak daerah, ketimpangan kewenangan antara pusat dan daerah.

“Forum ini penting sekali bagi Pemerintah Daerah, apalagi isu yang akan dibicarakan terkait rencana tata ruang wilayah. Sesuatu yang selama ini menjadi perdebatan antara Pemerintah, baik Kabupaten/Kota secara internal maupun dengan pemerintah pusat,”ujar Gubernur.

Ia menjelaskan, bahwa Maluku kini sedang dalam tahap finalisasi revisi RTRW tahun 2013, dan dalam hitungan hari, Perda barunya akan disahkan. Namun, ia menegaskan bahwa harmonisasi regulasi antara pusat dan daerah masih menjadi persoalan besar.

“Saya dulu bagian dari Badan Legislasi DPR RI 2019-2024. Saya ikut merumuskan UU Cipta Kerja. Saya ingat dalam memori saya perdebatan tentang kebenaran RTRW yang diberi limit waktu 180 hari kalau tidak salah. Kalau daerah gagal untuk menyelesaikan RTRW, itu ditarik ke pusat. Tapi kini, sebagai kepala daerah, saya harus jujur penarikan kewenangan ke pusat bukan solusi. Yang daerah butuh adalah pendampingan dari pemerintah pusat. Sehingga produk RTRW itu bisa diselesaikan sesuai waktu yang dikehendaki secara ideal,”tuturnya.

Gubernur juga menyoroti bagaimana kebijakan pusat seringkali tidak memberi ruang bagi daerah untuk mengelola sumber dayanya sendiri. Ia mencontohkan sektor kelautan, di mana provinsi diberi kewenangan administratif untuk kapal Penangkapan ikan maksimum 30 GT ke bawah, tapi tidak diberi hak menarik retribusi.

“Kami keluarkan izin, kami layani semua administrasi, kapal beroperasi di wilayah kami. Tapi apakah provinsi punya kewenangan untuk menarik pendapatan daerah bukan pajak? Bukan kami yang dapat. Ini potret sentralisme yang menyakitkan. Itu baru satu sektor saja,”katanya

Ia menekankan bahwa ketidakseimbangan relasi pusat dan daerah bisa berbahaya jika dibiarkan. Dalam narasi sejarah, ia bahkan mengangkat peristiwa Evernext sebagai dampak dari sentralisasi yang terlalu kuat.

“Kita belajar dari sejarah, dari masa-masa ketika suara daerah diabaikan dan meletup jadi konflik. Karena itu, kita tidak mungkin seperti itu, Maluku harga mati untuk NKRI,”ucapnya.

Gubernur juga menyampaikan apresiasi kepada DPD RI yang telah menjadi jembatan suara daerah, dan berharap agar rekomendasi yang dihasilkan dalam forum ini tidak berhenti di meja birokrasi, tetapi benar-benar didengar dan dijalankan oleh pemerintah pusat.

“Saya berterima kasih kepada rekomendasi DPD yang disampaikan kepada pemerintah pusat dan belakangan ini sudah mulai didengar. Tolong dengarkan suara rakyat, ketika daerah berbicara kami berharap tolong Pempus mendengar, karena rakyat Maluku butuh keadilan,” tutupnya dengan tegas.

Apa yang disampaikan Gubernur bukan hanya sekadar kritik. Tetapi seruan dari pinggiran nusantara, Maluku, untuk membangun Indonesia yang seimbang, dalam harmoni regulasi, bukan tarik-menarik kewenangan yang menyisakan luka.

(M.N)

Komentar