Di Bawah Teduh Lampu Merah Thumburuni, Sekda Ali Baham Nikmati Durian Fakfak

Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Ada yang berbeda di sudut persimpangan lampu merah Pasar Thumburuni, Fakfak, Kamis siang (07/08). Bukan iring-iringan pejabat, bukan pula kerumunan massa. Tapi aroma tajam dan legit yang menggoda, mengundang siapa pun yang melintas untuk sejenak menepi.

Di antara hiruk-pikuk kota kecil ini, tampak seorang pria berkemeja hijau kotak-kotak, sederhana tapi berwibawa, sedang asyik mencicipi buah durian lokal. Ia adalah Sekretaris Daerah Provinsi Papua Barat, Drs. Ali Baham Temongmere, M.TP — sosok yang dikenal publik sebagai birokrat pekerja keras namun tetap membumi.

Ali Baham, atau yang akrab disapa ABT, tak hanya hadir di Fakfak untuk urusan protokoler. Ia datang dalam rangka menghadiri perayaan bersejarah: 665 tahun masuknya agama Islam ke Tanah Papua — sebuah momen sakral yang merefleksikan perjalanan panjang kebudayaan dan keimanan masyarakat pesisir ini.

Namun di sela-sela jadwal padat dan prosesi formal, ABT memilih melakukan sesuatu yang sederhana tapi begitu manusiawi — menikmati durian langsung dari pedagang kaki lima di tengah kota.

“Ini luar biasa, duriannya manis, legit, dan teksturnya lembut. Tidak kalah dengan durian dari tempat lain, malah ini lebih autentik,” ujar ABT dengan mata berbinar, sembari menikmati buah durian yang tersaji di depannya.

Suaranya terdengar kagum, dan wajahnya merekah dalam senyum bahagia. Ia tampak seperti warga biasa, lepas dari atribut pejabat, larut dalam euforia sederhana yang ditawarkan Fakfak.

Pedagang durian yang melayani ABT pun tampak tak menyangka. “Saya kaget, tiba-tiba beliau mampir dan minta coba durian. Tentu kami senang dan bangga,” kata salah satu pedagang yang setiap musim durian membuka lapak kecil di kawasan itu.

Kawasan lampu merah Thumburuni memang dikenal sebagai salah satu spot kuliner musiman yang menjamur saat panen durian tiba. Dari yang berduri kecil hingga berduri besar, dari yang manis kelat hingga creamy lembut — durian Fakfak menyimpan kekayaan rasa yang tak bisa dituliskan hanya dengan satu kata.

Barangkali karena tanah subur dan iklim tropis pegunungan menjadikan buah ini istimewa. Atau bisa jadi, karena ada cinta yang ditanam masyarakat Fakfak pada tiap pohon yang mereka rawat turun-temurun.

Bagi ABT, ini bukan hanya sekadar mencicipi buah tropis. Ini bentuk penghormatan terhadap budaya lokal, terhadap rakyat yang membesarkan durian dengan tangan mereka sendiri, terhadap tanah Papua yang kaya — tak hanya sumber daya alam, tetapi juga rasa dan kehangatan sosial.

Kehadirannya di Fakfak bukan sekadar simbol kehadiran negara dalam perayaan keagamaan, tetapi juga bentuk pengakuan bahwa keindahan Papua Barat bukan hanya terletak pada panorama dan adat, tapi juga dalam kesederhanaan yang menggugah — seperti duduk di pinggir jalan, menyantap durian sambil tertawa bersama rakyat.

Tak heran, banyak warga yang merasa terharu melihat momen tersebut.

“Ini pejabat langka, bisa duduk santai dan nikmati durian bareng kami. Tidak banyak pejabat seperti ini,” ungkap Enrico Letsoin Ketua PWI Fakfak yang menemani ABT menikmati Durian di tepi jalan.

Saat mentari siang mulai bergeser dan aroma durian menguar menyelimuti jalanan kecil itu, ABT pun melanjutkan perjalanan.

Tapi jejak kehangatannya tertinggal — bukan hanya di meja kayu tempat ia duduk, tapi juga di hati warga Fakfak yang bangga, bahwa durian mereka telah membuat seorang Sekda tersenyum lebar di tengah padatnya urusan kenegaraan.

Komentar