Bupati Samaun Soroti Pemotongan Dana TKD: “Fakfak Tak Punya Tambang, Tapi Kami Punya Rakyat yang Harus Hidup”

Bupati Fakfak menyampaikan kekhawatiran serius atas dampak pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) dari pemerintah pusat. Ia menilai kebijakan itu berpotensi melemahkan ekonomi rakyat, terutama di daerah yang sepenuhnya bergantung pada APBD.

Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Di tengah langit Fakfak yang muram, Bupati Samaun Dahlan, S.Sos., M.AP menatap jauh lebih dari sekadar angka di tabel anggaran.

Bagi dia, pemotongan dana Transfer ke Daerah (TKD) bukan hanya urusan fiskal, tapi soal denyut hidup masyarakat Fakfak yang bergantung pada perputaran ekonomi dari belanja pemerintah daerah.

“Kalau dana TKD turun, efeknya langsung terasa sampai ke pasar, ke tukang ojek, ke kontraktor kecil. Siapa yang belanja kalau pegawai tak terima TPP? Siapa yang naik ojek kalau uang tak berputar?” ujar Samaun dalam pernyataan resminya, Kamis (16/10).

Menurutnya, pemotongan TKD tahun depan yang menurunkan alokasi anggaran Fakfak dari sekitar Rp1,4 triliun menjadi hanya sekitar Rp900 miliar, merupakan pukulan berat bagi daerah kecil yang 90 persen ekonominya bertumpu pada APBD.

“Fakfak Tidak Punya Tambang, Tapi Kami Punya Tanggung Jawab”

Samaun menegaskan, pemerintah pusat seharusnya tidak menyamaratakan kebijakan fiskal antara daerah kaya sumber daya dengan daerah kecil seperti Fakfak.

“Mungkin bagi daerah yang punya tambang besar, pemotongan itu tidak terlalu terasa. Tapi bagi kami, setiap rupiah berarti kehidupan,” ujarnya lirih namun tegas.

Ia mengingatkan bahwa pemangkasan TKD akan berdampak luas terhadap Tunjangan Penghasilan Pegawai (TPP)—komponen vital yang menopang daya beli masyarakat, terutama ASN yang selama ini menjadi penggerak ekonomi lokal.

“Kalau TPP terhenti, jangan anggap sepele. Pegawai itu bukan hanya penerima gaji, mereka juga konsumen di pasar, penumpang ojek, pelanggan warung, bahkan penyokong kredit di bank. Semua rantai ekonomi lokal bisa macet,” kata Bupati yang dikenal vokal itu.

Kontraktor Lokal dan UMKM Terancam Mati Suri

Tak berhenti di sana, Samaun juga menyoroti nasib kontraktor kecil dan pelaku usaha lokal yang selama ini bergantung pada proyek-proyek penunjukan langsung (PL) berskala kecil.

“Selama ini kita hidupkan ekonomi rakyat lewat pekerjaan saluran, jalan, dan jembatan kecil agar tenaga kerja bisa terserap. Tapi kalau dana habis hanya untuk gaji, bagaimana mereka bisa bekerja?,” katanya dengan nada prihatin.

Bupati Fakfak itu bahkan mengaku khawatir pemotongan anggaran akan menyebabkan penurunan aktivitas ekonomi secara nyata.

“Tenaga kerja akan berkurang, kontraktor berhenti, konsumsi turun, dan akhirnya penerimaan daerah ikut melemah. Ini efek domino yang nyata,” tandasnya.

“Kami Tak Menumpuk Dana, Kami Bertahan dengan Realita”

Menanggapi tudingan pemerintah pusat bahwa banyak daerah menumpuk dana di kas daerah, Samaun menjelaskan bahwa Fakfak tidak termasuk dalam kategori itu.

“Dana daerah tidak pernah sekaligus masuk ke kas. Penyalurannya bertahap, sesuai progres kerja di lapangan. Kalau pekerjaan belum selesai, ya belum bisa dibayar. Jadi kalau di akhir tahun masih ada sisa, itu karena pekerjaan masih berjalan, bukan karena kita simpan,” tegasnya.

Ia menambahkan, sistem penyaluran dari KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara) memang dirancang bertahap agar pengeluaran daerah seimbang dengan progres fisik di lapangan.

“Tidak ada alasan menyebut daerah kecil seperti kami menimbun dana. Yang ada justru kami berjuang menutupi kekurangan,” katanya.

Seruan ke Pemerintah Pusat: “Lihatlah dari Fakfak, Bukan dari Jakarta”

Samaun mengakhiri pernyataannya dengan seruan keras namun elegan kepada pemerintah pusat agar mempertimbangkan kembali kebijakan pemotongan TKD bagi daerah dengan ketergantungan fiskal tinggi.

“Pemerintah pusat harus melihat dari Fakfak, bukan hanya dari Jakarta. Kami tidak punya tambang emas, tapi kami punya rakyat yang harus makan, anak-anak yang harus sekolah, dan jalan yang harus tetap bisa dilalui,” ujarnya.

Menurutnya, keadilan fiskal seharusnya bukan hanya angka di APBN, tetapi juga rasa keadilan yang nyata bagi rakyat di pinggiran Nusantara.

“Kalau pusat ingin melihat Indonesia tumbuh merata, jangan biarkan daerah seperti Fakfak tumbuh dalam kekurangan,” pungkasnya.

Pernyataan tegas Bupati Samaun Dahlan ini menjadi cerminan suara daerah yang selama ini terpinggirkan dalam kebijakan fiskal nasional.

Di tengah upaya menjaga stabilitas ekonomi nasional, Fakfak memberi peringatan halus: bahwa di ujung timur Indonesia, kebijakan pusat tak boleh mematikan denyut ekonomi rakyat kecil.

Komentar