Bupati Pegang Chainsaw, Muslim Bangun Gereja: Toleransi Menyala di Tanah Kei

Maluku Tenggara, Kabarsulsel-Indonesia.com | Di Ohoi Ohoirenan, sebuah kampung kecil di sudut timur Indonesia, toleransi tak lahir dari seminar atau spanduk seremonial.

Ia tumbuh dari tanah, menyerap peluh warga, dan hidup dalam kerja kolektif—seperti sore itu, saat pohon-pohon ditebang demi rumah ibadah yang akan menampung doa umat Kristiani.

Di tengah bunyi nyaring mesin chainsaw dan debu kayu yang beterbangan, satu pemandangan mencuri perhatian: Bupati Maluku Tenggara, M. Taher Hanubun, berdiri sejajar dengan warga, menggenggam sendiri mesin pemotong, dan menggesek batang kayu dengan tenaganya.

Tak ada jarak kekuasaan di antara kerumunan itu—yang ada hanya semangat gotong royong dan kepedulian yang membumi.

“Ini bukan tentang agama, ini tentang kemanusiaan,” ujar Taher pelan, saat rehat sejenak di bawah rindangnya pohon. “Di Kei, kita diajarkan sejak kecil bahwa membantu membangun gereja atau masjid adalah bagian dari tugas hidup sebagai saudara satu tanah, satu marga.”

Dan benar, di Kei, marga lebih dulu menyatukan sebelum agama datang memberi sekat. Di kampung ini, saat masjid dibangun, umat Kristiani ikut menyumbang tenaga dan bahan. Begitu pula saat gereja berdiri, keluarga Muslim datang bukan sebagai penonton, melainkan pekerja.

“Kalau ada pembangunan masjid, semua bantu. Kalau gereja, kami keluarga Muslim juga turut mendukung. Karena marga tidak bertanya agamamu apa, tapi siapa yang kau bantu,” kata salah satu tokoh masyarakat yang turut memikul batang kayu.

Bagi warga Ohoirenan, kehadiran Bupati bukan sekadar kunjungan pejabat. Itu adalah pengakuan terhadap nilai-nilai luhur yang mereka jaga turun-temurun. Kepala Ohoi, Yulius Rahalus, menyambutnya dengan penuh haru.

“Kami sangat bersyukur Bapak Bupati datang melihat langsung perjuangan kami. Beliau tidak hanya berdiri menonton, tapi ikut bekerja bersama. Itu bagi kami adalah penghormatan,” ucapnya. “Semoga Tuhan dan leluhur menjaga langkah-langkah beliau.”

Di tengah kabut polarisasi yang kian menebal di banyak tempat, tanah Kei menunjukkan bahwa perbedaan tak harus memisahkan.

Bahwa iman tak selalu harus ditunjukkan lewat doktrin, tapi bisa hadir dalam bentuk sepotong kayu yang dipikul bersama menuju tempat ibadah.

Di negeri berjuluk Tanebar Evav ini, toleransi tak diajarkan—ia diwariskan. Dan hari itu, di bawah sinar mentari Ohoirenan, ia kembali hidup dan bersinar terang.

Writter : Elang Key | Editor : Red

Komentar