Fakfak, Kabarsulsel-Indonesia.com | Temuan mengejutkan terungkap dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Pemerintah Kabupaten Fakfak Tahun 2023 yang dirilis oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, dengan Nomor: 38.B/LHP/XIX.MAN/08/2024, tertanggal 29 Agustus 2024.
BPK mengungkap dugaan pemungutan retribusi tanpa dasar hukum oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Fakfak.
Pungutan ini dinilai membebani pelaku usaha perikanan yang terpaksa membayar demi izin pengiriman hasil laut ke luar daerah.
Pada tahun anggaran 2023, Pemerintah Kabupaten Fakfak mencatat pendapatan retribusi sebesar Rp3,4 miliar, termasuk retribusi izin angkut dan pengiriman hasil perikanan sebesar Rp206 juta.
Namun, BPK menemukan bahwa pungutan ini tidak memiliki landasan yang jelas dan melanggar Peraturan Daerah Kabupaten Fakfak Nomor 3 Tahun 2019 serta regulasi lainnya yang seharusnya melindungi pelaku usaha dari pungutan liar.
Dalam aturan tersebut, jenis retribusi yang diizinkan mencakup pelelangan dan fasilitas umum tertentu, tetapi tidak mencakup izin pengiriman hasil laut.
Berdasarkan wawancara dengan Bendahara Penerimaan, tarif retribusi ini menggunakan skema 2% dari harga patokan pasar per kilogram komoditas, yang notabene hanya berlaku untuk retribusi pelelangan. Dinas Kelautan dan Perikanan Fakfak, tampaknya, memanipulasi aturan ini sebagai dalih untuk mengumpulkan dana dari pelaku usaha.
Dalam laporan BPK, pemungutan retribusi tanpa dasar ini disebut tidak hanya ilegal tetapi juga berpotensi merugikan pelaku usaha kecil dan menengah, yang harus menanggung ekonomi biaya tinggi akibat tarif yang tidak sah.
BPK menyoroti, tindakan Dinas Kelautan dan Perikanan ini jelas melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020, yang secara tegas melarang pungutan di luar ketentuan undang-undang.
Pungutan liar ini dapat menciptakan iklim usaha yang tidak sehat, menghambat pergerakan barang dan jasa, bahkan berisiko melemahkan daya saing produk perikanan Fakfak di pasar yang lebih luas.
Menanggapi temuan ini, Bupati Fakfak menyatakan setuju dengan laporan BPK dan berjanji untuk menindaklanjuti sesuai rekomendasi. Namun, pernyataan ini justru menimbulkan tanda tanya besar: bagaimana mungkin pungutan ilegal ini bisa berlangsung tanpa pengawasan?
BPK mendesak Bupati untuk bekerja sama dengan Bagian Hukum dan Bapenda agar segera meninjau ulang dasar hukum dari retribusi angkut dan pengiriman, serta melakukan evaluasi dan pengawasan yang lebih ketat terhadap penerimaan retribusi di Dinas Kelautan dan Perikanan.
Apakah janji perbaikan ini akan sungguh-sungguh direalisasikan atau sekadar menjadi retorika untuk meredam isu? Fakta bahwa retribusi ilegal ini bisa berjalan tanpa koreksi dari pihak berwenang menunjukkan kelemahan yang serius dalam tata kelola daerah.
Jika tidak ditindak tegas, pelaku usaha Fakfak terancam terus dibebani pungutan yang memberatkan, sementara kepercayaan masyarakat terhadap transparansi pemerintah semakin memudar.
Komentar