BLUD RSUD Nabire Diambang Krisis, Mayor Desak Pembentukan Pansus Gabungan untuk Selamatkan Layanan Kesehatan Papua Tengah

Manokwari, Kabarsulsel-Indonesia.com |  Manajemen BLUD RSUD Nabire, Papua Tengah, menjadi sorotan tajam akibat berbagai persoalan mendasar yang berdampak pada buruknya layanan kesehatan bagi masyarakat, khususnya Orang Asli Papua (OAP).

Yose Rizal Papuana Mayor, tokoh pemuda Kalibobo, mendesak DPR Papua Tengah, Majelis Rakyat Papua Tengah (MRPT), dan DPR Kabupaten Nabire segera membentuk Panitia Khusus (Pansus) gabungan untuk melakukan inspeksi mendalam serta investigasi menyeluruh terhadap kinerja rumah sakit tersebut.

Mayor mengungkapkan bahwa sejumlah persoalan krusial menghantui BLUD RSUD Nabire, mulai dari tidak tersedianya obat-obatan, minimnya stok darah di PMI Nabire, hingga fasilitas vital seperti peralatan operasi dan air bersih yang sangat memprihatinkan.

“Kondisi ini mencerminkan layanan kesehatan yang jauh dari harapan. Ketika saya membawa keluarga untuk berobat di ruang IGD, petugas justru meminta keluarga pasien untuk mencari ruangan yang kosong sendiri. Selain itu, alat operasi yang seharusnya disediakan rumah sakit malah dibebankan kepada pasien untuk dibeli sendiri di luar rumah sakit,” ungkap Mayor melalui sambungan telepon, Senin (27/1/2025).

Masalah lainnya adalah ketiadaan air bersih di toilet rumah sakit, memaksa keluarga pasien membawa air dari rumah menggunakan galon.

Direktur BLUD RSUD Nabire sebelumnya menyebutkan bahwa keterlambatan pengiriman menjadi penyebab utama kekurangan obat dan peralatan medis. Namun, menurut Mayor, persoalan ini telah berlangsung selama berbulan-bulan tanpa ada solusi konkret, sehingga terkesan ada pembiaran.

“Manajemen BLUD RSUD Nabire telah gagal memberikan pelayanan yang layak. Jika ini dibiarkan, nyawa masyarakat Papua akan terus terancam. Oleh karena itu, MRPT, DPR Papua Tengah, dan DPR Kabupaten Nabire harus bertindak cepat dengan membentuk Pansus untuk menyelesaikan krisis ini,” tegas Mayor.

Mayor juga menekankan bahwa kesehatan adalah hak dasar yang dilindungi dalam Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus), dan lembaga seperti MRPT memiliki tanggung jawab untuk melindungi hak ini secara maksimal.

Ia menyayangkan minimnya peran lembaga perwakilan rakyat dalam mengawasi pelayanan publik di bidang kesehatan.

“Kita bicara tentang RSUD Nabire, bukan hanya untuk warga Nabire, tetapi juga untuk masyarakat dari enam kabupaten lainnya di Papua Tengah. Sebagai pusat layanan kesehatan provinsi, RSUD Nabire seharusnya mampu memberikan pelayanan terbaik bagi semua masyarakat Papua,” ujarnya.

Masalah stok darah di PMI Nabire juga menjadi perhatian. Mayor mengungkapkan bahwa keluarga pasien harus membayar biaya uji darah hingga Rp 350.000 per sampel di klinik tertentu, dan biaya ini akan membengkak jika dibutuhkan lebih banyak kantong darah.

Ia menduga adanya permainan bisnis oleh oknum tertentu terkait uji sampel darah dan pembelian obat di apotek tertentu di Nabire.

“Jika manajemen BLUD RSUD Nabire tidak mampu, tidak ada alasan untuk kompromi. Pimpinan harus diganti dengan figur yang profesional, baik dari Papua maupun non-Papua, demi menyelamatkan layanan kesehatan,” tambahnya.

Mayor berharap agar Pansus segera dibentuk untuk mengatasi berbagai persoalan ini. Ia menegaskan bahwa masyarakat Papua tidak boleh terus menjadi korban dari layanan kesehatan yang buruk.

“Nyawa manusia di Papua Tengah tidak bisa terus dipertaruhkan hanya karena kelalaian manajemen,” pungkasnya.

Komentar