Langgur, Kabarsulsel-Indonesia.com — Kegelisahan warga Ohoi Wearlilir, Kecamatan Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, kian memuncak. Selama tiga bulan terakhir, 31 warga tercatat tidak menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang seharusnya menjadi hak mereka.
Situasi ini menyulut amarah warga yang merasa ditelantarkan oleh pemerintah ohoi dan mempertanyakan ke mana larinya dana desa yang begitu besar.
Hengky Rettob, salah seorang warga, dengan tegas menyuarakan kekecewaannya saat ditemui di Kota Tual.
“Kami sudah tiga bulan tidak dapat BLT. Insentif mantan kaur pembangunan juga tujuh bulan tidak dibayar. Dana desa cair seperti infus, menetes sedikit-sedikit, tapi hak rakyat terus tertahan. Ini ke mana uangnya?” ujarnya dengan nada tinggi.
Bagi Rettob, persoalan BLT hanyalah puncak gunung es. Ia menuding ada persoalan laten dalam pengelolaan dana desa Ohoi Wearlilir yang penuh dengan tanda tanya. Transparansi dianggap nihil.
Laporan pertanggungjawaban aparat ohoi disebutnya tak lebih dari “dokumen sulap” yang mengaburkan fakta di lapangan. Pembangunan tak berjalan, pemberdayaan mandek, sementara aparat terus melaporkan keberhasilan semu.
“Pandangan orang luar, seakan Ohoi Wearlilir maju. Tapi kenyataannya, rakyat di sini hidup susah, pembangunan tidak ada, dan hak-hak warga dipangkas. Ini fakta telanjang,” tegasnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa persoalan ini bukan hal baru. Sejak pergantian pejabat sementara hingga kepala ohoi definitif, pola yang sama tetap berlangsung: dana desa dikelola tanpa keterbukaan, tanpa laporan jelas kepada masyarakat.
Bahkan, dana pemberdayaan yang seharusnya menopang masyarakat sudah sepuluh tahun tak jelas ke mana arahnya.
“Pejabat hanya bilang dana masih di rekening ohoi. Tapi berapa jumlahnya? Tidak ada yang bisa jawab,” ungkap Rettob.
Warga mendesak Inspektorat Kabupaten Maluku Tenggara segera turun tangan. Audit menyeluruh harus dilakukan, tidak hanya untuk tahun ini, tapi juga menelusuri penggunaan dana desa sejak beberapa tahun ke belakang.
“Kalau terbukti ada penyalahgunaan, jangan hanya diberi teguran. Pecat pejabat yang terlibat, seret ke ranah hukum. Jangan biarkan rakyat jadi korban permainan anggaran,” ujar Rettob.
Situasi ini menyingkap wajah muram pengelolaan dana desa di Maluku Tenggara. Ohoi Wearlilir hanyalah satu contoh, tetapi bisa jadi cerminan problem serupa di banyak kampung lain.
Dana desa yang digelontorkan pemerintah pusat dengan jumlah miliaran rupiah setiap tahun semestinya menjadi tulang punggung pembangunan desa. Namun di Wearlilir, janji kesejahteraan justru berubah menjadi luka sosial yang menahun.
Ketidaktransparanan ini membuat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah ohoi runtuh. Warga menilai pemerintah desa lebih sibuk memoles laporan pertanggungjawaban di atas kertas ketimbang memastikan hak rakyat terpenuhi.
“Kami lelah dengan janji-janji. Kami butuh bukti nyata, bukan laporan manipulatif,” kata Rettob.
Kasus ini kini menjadi ujian serius bagi pemerintah Kabupaten Maluku Tenggara. Apakah aparat pengawas berani membongkar dugaan penyimpangan ini sampai ke akar, atau hanya sekadar memberi teguran basa-basi?
Warga Ohoi Wearlilir menunggu langkah tegas, karena bagi mereka, setiap rupiah dana desa adalah urat nadi kehidupan yang tidak boleh dipermainkan.
Rujukan Hukum:
Dugaan penyalahgunaan pengelolaan dana desa ini dapat dijerat dengan beberapa aturan hukum yang berlaku:
- Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 28 dan Pasal 29 yang secara tegas melarang kepala desa menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajiban.
- Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014, sebagai aturan pelaksana UU Desa, yang menegaskan mekanisme pertanggungjawaban penggunaan dana desa.
- Permendagri Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, yang mewajibkan transparansi, akuntabilitas, partisipasi, serta disiplin anggaran dalam setiap tahap pengelolaan dana desa.
- Jika terbukti ada unsur pidana, maka penyalahgunaan dana desa dapat dijerat dengan UU Tipikor (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).
Sanksi yang bisa diberikan mulai dari teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap dari jabatan kepala desa, hingga pidana penjara bagi pihak yang terbukti menyalahgunakan kewenangannya.
Writter : Elang Key
Komentar